Selasa, 07 Februari 2012

Pengertian, Istilah, dan Dasar Hukum Internasional


Setiap negara yang ada di dunia ini tidak ada yang tidak memerlukan bantuan negara lain dalam rangka memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan nasionalnya. Negara besar ataupun kecil, negara maju ataupun sedang berkembang, negara adidaya ataupun negara satelitnya, semuanya mempunyai ketergantungan baik secara ekonomi, politik, militer, sosial-budaya maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Misalnya, negara industri maju seperti Jepang, Korea, Jerman akan selalu tergantung kepada negara-negara lainnya yang memiliki bahan mentah dan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan industrinya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan nasionalnya, setiap negara perlu menjalin hubungan dan kerjasama dengan negara lain agar tujuan nasionalnya dapat terpenuhi.

Karena semakin kompleksnya hubungan antar negara, saat ini hubungan internasional telah menimbulkan dampak positif dan negatif, atau menciptakan kondisi damai dan konflik, perselisihan bahkan perang. Masyarakat dunia telah lama menyadari pentingnya tata aturan atau norma/hukum yang mengatur hubungan antar negara/bangsa baik dalam suasana perang maupun damai. Aturan/ kaidah yang mengatur hubungan antar negara itulah disebut hukum internasional.

Pengertian pada awal pertumbuhannya

Dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, manusia sebagai anggota warga masyarakat akan senantiasa melakukan interaksi atau hubungan satu dengan yang lain. Dalam melakukan interaksi setiap individu tidak bisa luput dari peraturan atau norma. la akan selalu terikat oleh hukum yang ada di masyarakat karena dibuat oleh pemerintah atau yang telah disepakati bersama oleh anggota masyarakat. Dengan adanya hukum yang mengatur maka memungkinkan anggota masyarakat dapat hidup tenang dan aman. 

Demikian pula dalam masyarakat dunia atau dalam hubungan antar bangsa. Masyarakat atau individu yang ada pada suatu negara sering mengadakan interaksi atau saling hubungan satu sama lain dengan warga yang ada di negara lainnya. Hubungan yang terjadi mungkin dalam situasi damai, permusuhan, atau mungkin dalam situasi perang. Agar hubungan antar bangsa ini dapat berjalan dengan tertib maka masyarakat internasional pun akan memerlukan hukum atau peraturan.

Hukum yang mengatur masyarakat internasional dalam mengadakan hubungan antar negara telah dikenal sejak zaman negara-negara kota Yunani meskipun masih dalam taraf embrio. Istilah yang dipakai untuk hukum internasional pada saat itu ialah “intermunicipal law”. Pada zaman Romawi istilah yang digunakan adalah “ius gentium”, artinya hukum yang berlaku antara orang Romawi dan bukan Romawi serta orang bukan Romawi satu sama lain. Pada saat ini istilah untuk hukum internasional sering jugs digunakan hukum antar bangsa, hukum bangsa-bangsa (law of nations), atau hukum publik internasional (public international law).

Sebenarnya sumbangan untuk hukum internasional pada zaman Yunani dan Romawi sangatlah sedikit. Baru pada abad ke-15 perkembangan hukum internasional tumbuh dengan subur terutama pada saat munculnya negara-negara di Eropah dan sumbangan dari dunia Islam terutama dalam hukum perang. Pada abad ini pun muncul para penulis hukum internasional seperti Francisco Victoria, Francisco Suarez, Hugo de Groot, Bynkershoek, dan sebagainya. Hugo de Groot atau disebut juga Grotius dianggap sebagai bapak hukum internasional kttrena berhasil menguraikan hukum internasional secara sistematik, yakni telah membedakan antara perang dan damai dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis” (Hukum Perang dan Damai).

Pengertian menurut para ahli

Samakah hukum internasional dengan hukum dunia? Apakah hukum internasional itu hukum yang berlaku di seluruh dunia? Pertanyaan ini suka muncul dikalangan para mahasiswa. Untuk menghindari salah persepsi tentang pengertian hukum intemasional dibawah ini dikemukakan beberapa definisi hukum internasional menurut para ahli.

J.G. Starke 
merumuskan hukum internasional `sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antar negara satu sama lain yang juga meliputi:

a. Peraturan-peraturan hukum mengenai pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi itu masing¬-masing serta hubungannya dengan negara-negara dan individu¬individu; dan

b. Peraturan-peraturan hukum tertentu mengenai individu-individu dan kesatuan-kesatuan bukan negara sepanjang hak-hak atau kewajiban-kewajiban individu dan kesatuan itu merupakan masalah persekutuan internasional.

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM.
 
merumuskan hukum internasional sebagai berikut:
Hukum internasional adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara antara:
1) negara dengan negara;
2) negara dengan subyek hulcum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.

Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH.
 
mendefinisikan “Hukiun Publik Internasional” sebagai hukum yang mengatur perhubungan hukum antara pelbagai bangsa di pelbagai negara sebagai perbedaan daripada istilah ‘-Hukum Perdata Intemasional”.

Dari tiga definisi di atas menunjukkan bahwa hukum internasional merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antar subyek hukum internasional yang satu dengan subyek hukum internasioal yang lain.

1.4 Istilah Hukum Internasional

Dalam berbagai literatur Barat dan dalam bahasa Indonesia, istilah Hukum Internasional dikenal dengan nama -Ius gentium (Latin), Volkerrech (Jerman), Volkenrech (Belanda), Ius inter gen¬tes, Law of nations, Public international law, Transnational law, Common law of mankind, Hukum bangsa-bangsa, dan Hukum antarnegara. Namun, dalam konteks Indonesia, istilah ‘hukum internasional’ merupakan istilah yang paling lazim digunakan.
Alasan penggunaan hukum internasional dalam kajian keilmuan karena istilah hukum intemasional adalah istilah yang paling mendekati kenyataan dan sifat daripada hubungan-hubungan dan masalah-masalah yang menjadi obyek bidang hukum ini. Pada masa sekarang persoalan yang dikaj i oleh hukum intemasional tidak hanya terbatas pada hubungan antarbangsa-bangsa atau antarnegara saja melainkan telah mencakup berbagai persoalan hubungan antarsubyek hukum baik dalam suasana damai maupun suasana perang/konflik. 

Dasar Hukum Internasional

Ada tiga dasar utama hukum internasional yang umumnya diakui oleh para penulis, yakni rasa keadilan, hukum kodrat, dan positivisme.

1) Rasakeadilan
Hukum internasional sebagai bagian dari norma hukum pada umumnya memiliki dasar yang sama dengan hukum lainnya. Menurut Wirjono (1967), rasa keadilan adalah dasar segala hukum. Artinya, hukum internasional harus berdasar pada rasa keadilan yang hidup dan terpelihara dalam berbagai bangsa di dunia.

2) Hukum Kodrat
Sudah lama bahkan pertama kali hukum internasional mendasarkan pada hukum kodrat (natural law). Kelompok penulis hukum internasional yang mendasarkan pada hukum kodrat disebut kaum naturalis. Kelompok naturalis berpendapat bahwa kaidah dan prinsip hukum dalam semua sistem hukum tidak dibuat oleh manusia melainkan berasal dari kaidah dan prinsip yang telah berlaku sepanjang masa dan bersifat universal. Beberapa asas hukum alam yang berlaku universial di seluruh dunia antara lain: orang dilarang mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk memiliki, kalau orang menguasai barang milik orang lain maka barang tersebut harus dikembalikan, setiap orang harus memenuhi janji, orang harus mengganti kerugian akibat kesalahannya, orang yang melakukan kejahatan hares dihukum, dan masih banyak lagi ketentuan lainnya.

3) Positivisme
Positivisme merupakan dasar hukum intemasional yang bersumber pada kesepakatan bersama antara negara berupa perjanjian dan kebiasaan internasional. Kelompok posivisme beranggapan bahwa peraturan dalam hubungan antarnegara adalah kaidah atau prinsip yang buat bersama sesuai dengan kepentingan dan kemauan negara-negara tersebut. Dasar hukum ini bersumber pads kesepakatan atau perjanjian sebagaimana dinyalakan Rousseau dalam bukunya Du Contract Social bahwa hokum adalah pemyataan kehendak bersama.

Sejarah Hukum Internasional


1 Pendahuluan

Perlu dibedakan konsep hukum internasional dalam praktek dan hukum internasional sebagai suatu dokumen tertulis dan/atau teori. Perbedaan ini terkadang menimbulkan persoalan yang dapat mengarah pada perdebatan yang tidak henti-heptinya. Di satu pihak hukum internasional mengatur hubungan antar subyek hukum untuk menjamin rasa keadilan, keamanan, dan ketertiban sedang di pihak lain sebagai suatu kenyataan dalam praktek bahwa begitu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh subyek hukum interriasional sehingga dirasakan oleh subyek hukum tertentu sebagai kondisi yang penuh dengan ketidakadilan, ketidakamanan, dan ketidaktertiban. Kondisi inilah yang mengundang pertanyaan, bagaimana perkembangan hukum internasional dan waktu ke waktu sampai era kontemporer. Berikut ini adalah uraian tentang sejarah hukum internasional secara kronologis beserta argumen-argumen dalam praktek hubungan antar bangsa.

2 Sejarah Hukum Internasional

Dalam menguraikan sejarah perkembangan hukum intemasional sejak keruntuhan Romawi hingga abad kelima belas oleh para penulis Barat, sangat langka mengungkap peranan para ilmuwan dan kerajaan-kerajaan Islam ketika mencapai puncak kejayaan. Pada umumnya dalam memaparkan perkembangan sejarah hukum internasional pada periode abad pertengahan, mereka hanya mengungkap tokoh-tokoh dari Eropah Barat, setelah perkembangan di negara-negara Yunani, Kekaisaran Romawi, dan Yahudi, langsung saja pada tokoh-tokoh yang dianggap pelopor hukum internasional di negara-negara Barat, seperti Santo Thomas Aquinas (1226-1274), De Vitoria (1486-1516) dan Suarez (1548-1617). Padahal, pada saat itu kerajaan-kerajaan dan ilmuwan Muslim pun ikut andil dalam membangun hukum internasional hingga pernah mencapai puncak kejayaan pada abad ketujuh sampai dengan abad ketiga belas sementara Eropah masih ada dalam kegelapan dan keterbelakangan.
Pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi, kebangkitan Islam melanda dunia. Pada masa kejayaan negaraAbasyiyah, Muawiyah, dan Usmaniah yang diperintah oleh umat Islam telah berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Sisilia, Italia Selatan, Prancis dan Spanyol dan beberapa daratan Eropah lainnya. Namun, ada kesalahan persepsi karena tak pernah diungkap oleh sejarawan Muslim adalah mengenai kepemimpinan Arab yang dianggap telah menyerang dunia Katholik, terutama pada masa perluasan wilayah sampai ke daratan Eropah. Perlu diluruskan bahwa kalaupun ada operasi penaklukan, sebenarnya itu adalah inisiatif perorangan, tidak mencerminkan politik luar negeri secara keseluruhan.
Tidak banyak terungkapkan tentang kontribusi Islam dalam praktek hukum intemasional pada masa silam, khususnya pads masa kejayaan negara-negara Islam, nampaknya karena lemahnya publikasi terutama oleh para sejarawan Muslim. Hamed A. Rabie (1981), seorang yang menulis “Islam and International Forces ” mengemukakan bahwa segala peristiwa penting yang terjadi sampai akhir abad 3 Hijrah – termasuk periode Harun Al-Rasyid – tidak mendapat tempat sama sekali dan tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan pemahaman dan persepsi politik yang membentuk pemikiran tentang kepemimpinan Islam. la pun mempertanyakan, apakah masuk akal suatu imperium yang mempunyai wilayah demikian luas tidak mempunyai konsep politik apa pun untuk hakikat dan segi-segi interaksi dengan dunia luar? la mencontohkan sebuah tulisan yang tak kurang pentingnya berjudul “Themes of Islamic Civilization ” (Tema-tema Peradaban Islam) yang ditulis oleh Alden Williams ternyata meninggalkan segala segi yang berhubungan dengan persepsi Islam terhadap dunia luar. Lebih lanjut, Hamed A. Rabie mengakui bahwa masalah hukum internasional dalam Islam belum merupakan obyek studi sampai sekarang. Menurutnya, ada dua fenomena yang perlu mendapat perhatian:
Pertama, fenomena umum tulisan hasil karya Barat tentang sejarah hukum internasional pada abad pertengahan dengan sikap melupakan peranan yang pernah dimainkan oleh peradaban Islam dalam membina tradisi hukum internasional. Pada masa ini, konsep umum hukum internasional adalah konsep Yahudi. Katholik dan Islam tidak memiliki persepsi sendiri.
Kedua, apabila menyelidiki tulisan-tulisan yang bernafaskan Islam, sekarang maupun terdahulu, tidak terdapat perhatian sungguh-sungguh terhadap dunia luar. Sesungguhnya, di negara-negara Islam tempo dulu banyak sarjana politik Islam yang telah menghasilkan karya-karya besar, seperti:

1) Al Farabi dari Transoxania (sekarang, Turkemania), yang hidup pads 260-339 H atau 870-950 M, seorang filsuf dan politikus terkenal dengan teorinya “Madinatu’l Fadilah” yang diterjemahkan menjadi Negara Utama (Model State).

2) Ibnu Sina (dalam tulisan Barat dikenal Avicenna) dan Belch (sekarang Afganistan), hidup pads 370-428 H atau sama dengan 980-1037 M, seorang dokter politikus, terkenal dengan teorinya “Siyasatu `rrajul” yang diterjemahkan menjadi Negara Sosialis (Socialistic State).

3) Imam Al Gazali dari Thus, Persia (sekarang, Iran), yang hidup pada 450-505 H atau 1058-1111, seorang sufi-politikus. la terkenal dengan teorinya “Siyasat ul Akhlaq ” yang terkenal dinamakan Negara Akhlak (Ethical State).

4) Ibnu Rusjd (dalam tulisan barat dikenalAverroes) dari Cordova, Andalusia (sekarang, Spanyol), yang hidup pada 520-595 H atau sama dengan 1126-1198 M, seorang hakim-politikus, terkenal dengan teorinya “Al Jumhuriyah wa’I Ahkam “, yang secara populer dinamakan pula “Negara Demokrasi” (Democtratic State).

5) Ibnu Kaldun dari Tunis (sekarang, Tunisia), yang hidup pada 732-808 H atau sama dengan 1332-1406 M, seorang sosiolog¬politikus yang terkenal dengan teorinya “Al Ashabiyah wa’1¬Igtidad ” yang lebih populer dengan “Negara Persemakmuran” (Welfare State).

Teori yang paling terkenal yang ada kaitannya dengan topik bahasan/ studi hukum internasional dari kelima teori tersebut adalah “Madinatu’1 Fadilah” yang ditulis oleh Al Farabi. Dalam buku tersebut Al Farabi membagi tingkat-tingkat masyarakat manusia yang berbentuk negara atas tiga tingkatan sbb.:

a. Kamilah Sugra (Masyarakat Kecil atau Negara Nasional)
b. Kamilah Wusta (Masyarakat Tengah atau Persekutuan Regional)
c. Kamilah Uzma (Masyarakat Besar atau Negara Internasional)

Namun Al-Farabi tidak secara rinci menjelaskan konsepsi dari tiga tingkatan bentuk negara. la hanya menyebut satu istilah untuk mayarakat kota yang sempuma dan diakui sudah berhak menj adi negara yang disebut “Madinah Kamilah”.
Bertolak dari pemikiran Hamed A.Rabie ini, nampaknya ada kesalahan dalam menyajikan sejarah hukum internasional, terlepas apakah disengaja maupun tidak. Sebagai ilustrasi, di kalangan para ilmuwan dan para penulis Barat maupun mahasiswa di bidang studi hukum internasional telah dikenal bahwa St. Thomas Aquino (1226¬1274) dianggap telah memberi garis-garis besar (basic principles) bagi Negara Dunia. Bahkan dalam buku “Indonesia dan Hubungan Antarbangsa” yang ditulis oleh Sumarsono Mestoko (1985) dikemukakan bahwa Santo Thomas Aquinas adalah pelopor dalam hubungan dan hukum internasional. Padahal apabila mengungkap sejarah, ternyata St. Thomas Aquinas adalah murid yang setia dari Al Farabi dan pengikut dalam Aristotelianisme yang dihimpunkan oleh Al Farabi. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa teori negara dunia yang dikemukakan oleh para ahli kemudian adalah berasal dari faham Kamilah ‘Uzma Al Farabi.
Sebagai seorang filsuf-politikus muslim, Al Farabi tentunya mengembangkan teorinya didasari oleh ajaran-ajaran Islam yang ada dalam Al Qur’ an. Di dalam Kitab Suci ini telah dikemukakan 5 prinsip hidup dalam lingkungan masyarakat internasional, yakni:

1) Tentang asal kejadian manusia dari kejadian yang lama (Cre¬ation of mankind from the same couple) yang tertera dalam QS An Nisa ayat 1 dan QS Al Hujarat ayat 13.

2) Seluruh umat manusia adalah umat yang satu (Mankind is one community) yang tertera dalam QS Al Baqarah ayat 213 dan QS Yunus ayat 20.

3) Panggilan Islam untuk seluruh manusia (Islam s universal call) yang diterangkan dalam QS Yusuf ayat 104, QS Takwir ayat 27, QS As Saba ayat 28, dan QS Al Anbiya ayat 107.

4) Tentang perbedaan kulit dan bahasa (Difference of color and language) yang diuraikan dalam QS Ar Rum ayat 22 dan QS Al Hujarat ayat 13.

5) Perintah hidup berlapang dada (Toleration par excellence) yang dijelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 62 dan QS Al Maidah ayat 69.


3 Zaman Hubungan Antar Negara Modern

Masa kelahiran negara modem diawali oleh suatu gerakan Re¬naissance (Pencerahan) yang terjadi di Eropah dan sekaligus mengakhiri masa periode abad pertengahan (Middle Ages). Masa renaissance dianggap pula sebagai masa transisi dari mass kegelapan di Eropah (the Dark Ages) kepada masa negara-bangsa modem, eksplorasi, dan permulaan dalam bidang komersial. Renaissance disebut pula sebagai gerakan kebangkitan Eropah yang terjadi pada abad ke-14, dan mencapai puncaknya pads abad ke-15 dan 16 Masehi. Setelah lahimya pemikiran bare ini, hokum antar bangsa lebih banyak dilakukan melalui negara daripada melalui individu. Raja-raja di Eropah tidak lagi tunduk pada kekuasaan Gereja. Re- . naissance telah betul-betul merubah tatanan kehidupan yang biasa dilakukan pada abad pertengahan.
Munculnya negara-negara modem ditandai dengan adanya pembentukan negara-negara besar dengan asas kedaulatan (Sovereighnty) yang menyatakan bahwa seorang penguasa di suatu wilayah negara mempunyai kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak di daerah dan atau negaranya. Dengan demikian bangsa dan negara lain harus saling menghornati eksistensi dan integritas bangsa dan negara lainnya. Kelahiran negara-negara modem ini dimulai sejak adanya perjanjian perdamaian Westphalia (1648), yakni peristiwa yang mengakhiri perang selama tiga puluh tahun di Eropah. Negara¬negara Eropah pada saat itu mulai menginjakkan kaki di benua lain, Asia, Afrika, bahkan Amerika, dan memperoleh wilayah jajahan/ kolonial.
Perkembangan hukum internasional pada abad ke- 16, 17, dan 18, secara teoritis banyak didominasi oleh para ilmuwan-ilmuwan Barat terutama dari Spanyol, Belanda dan Italia. Alberico Gentilis, seorang sarjana hukum dari Italia menerbitkan buku yang berjudul De Jure Belli Libri Tres (1958) sangat mempengaruhi terhadap pemikiran-pemikiran penulis berikutnya. Hugo de Groot (1583¬1645) atau dikenal pula dengan nama Grotius, seorang Belanda ahli hukum internasional modem karena berhasil menulis buku yang berjudul De Jure Praedae dan De Jure Belli Ac Pacis (1625). Selain itu, is pun mengemukakan konsepsi Mare Liberium (konsepsi laut bebas). Di Inggris, ahli hukurn intemasional yang beraliran posi¬tivist bernama Zouche (1590-1660) sedangkan yang lainnya adalah Puffendorf (1632-1694), seorang yang beraliran hukum kodrat.. Dengan kata lain, masa hubungan antarnegara modem ini ditandai oleh banyaknya lahir penulis-penulis hukum dan hubungan intemasional.


4 Zaman Abad Kesembilan Belas dan Dua Puluh (Super State Stage)

Perkembangan hukum intemasional pads abad kesembilan belas mengalami perubahan bila dibandingkan dengan kondisi parla masa negara modem. Menurut Holsti (1983), hal yang paling menonjol dari perkembangan pads abad kesembilan belas adalah ditandai oleh adanya kebangkitan nasionalisme dari setiap negara-bangsa, adanya perang teknologi, dan terjadinya konflik ideologi.
Apabila pada abad sebelumnya, banyak negarawan dan raja yang saling mempertukarkan wilayah secara mudah dengan kriteria pertimbangan strategi dan ekonomi, maka pada abad kesembilan belas, banyak pemimpin nasionalis yang berpendapat bahwa landasan yang sah untuk menentukan suatu organisasi politik (negara) adalah kelompok etnik atau kelompok bahasa yang jelas dan oleh karena itu negara harus berdasarkan pada alasan nasionalisme. Akibat adanya pengaruh ajaran nasionalis inilah, maka muncullah berbagai gerakan nasionalis di Eropah.. Berbagai pemberontakan kelompok nasionalis. terjadi di sejumlah negara, seperti Rusia, Austria-Hongaria, dan Swedia-Norwegia. Akibat lebih jauh dari gerakan nasionalisme adalah pemanfaatan masa oleh pemerintah atau pemimpin negara untuk melakukan mobilisasi rakyat dalam melakukan diplomasi dan peperangan. Padahal sebelumnya, pemerintah mengalami kesulitan untuk menggerakkan rakyatnya dalam rangka menggalang kekuatan nasional.
Dalam bidang teknologi, negara-negara bangsa pada abad kesembilan belas mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi termasuk teknologi perang. Kemajuan dalam sistem persenjataan nuklir adalah kontribusi yang paling revolusioner dari bidang ilmu dan teknologi terhadap perang. Akibatnya, jumlah korban perang pun mengalarni peningkatan yang sangat drastis. Sedangkan, latar belakang terjadinya konflik bersenjata dipengaruhi pula oleh adanya konflik ideologi yang berbeda-beda, seperti munculnya doktrin Naziisme, Komunisme, dan Demokrasi Liberal.
Pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, diadakan dua Konferensi Perdamaian di Den Haag (Belanda) masing-masing tahun 1899 dan 1907. Konferensi ini merupakan tonggak tentang konsepsi pergaulan dunia dan mencita-citakan atau melakukan pencegahan perang. Namun, akhirnya terjadi Perang Dunia 1 (1914-1918), sehingga seolah-olah telah menggagalkan hasil-hasil dari dua konferensi tersebut. Pada akhir Perang Dunia 1, masyarakat dunia berhasil mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang bertujuan untuk mencegah terulangnya kembali perang yang telah mengakibatkan banyak korban. Namun, upaya inipun temyata mengalami kegagalan, yakni sejak tahun 1933 ketika Jepang menyerbu Mancuria dan Italia menyerbu Ethiopia yang puncaknya terjadi Perang Dunia 2 yang meletus pada tahun 1939 sampai tahun 1945.

Sistem hukum internasional pada abad kedua puluh ini disebut pula sebagai sistem global kontemporer. Perbedaan yang mencolok dari sistem hukum ini adalah ditandai oleh semakin pentingnya kedudukan organisasi internasional yang lahir dari adanya perjanjian antar negara. Menurut Holsti (1983), ada beberapa hal yang membedakan sistem internasional kontemporer dengan sistem Eropah pada abad sebelumnya: 

(1) meningkatnya jumlah tipe-tipe negara; 

(2) adanya potensi destruktif yang besar dari negara-negara yang memiliki persenjataan nuklir; 

(3) semakin besarnya ancaman dari luar termasuk subversi, pengaruh ekonomi dan penaklukan militer; 

(4) makin pentingnya aktor-aktor non negara, seperti gerakan pembebasan nasional, perusahaan multinasional, kelompok kepentingan internasional, dan partai-partai politik yang melampaui batas negara; 

(5) posisi yang menonjol yang telah dicapai oleh tiga negara non Eropah, ialah Uni Sovyet (sekarang Rusia), Cina, dan Amerika Serikat.

Aktor-aktor non negara dapat meliputi organisasi interasional, organisasi internasional regional maupun gerakan multinasional. Aktor-aktor semacam ini dapat meliputi: Peserikatan Bangsa¬Bangsa, Gerakan Non Blok, Liga Arab, NATO, ASEAN, MEE, dan sebagainya.