PERKEMBANGAN
HUKUM Perkembangan Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Indonesia ; Yurisprudensi,
berasal dari kata bahasa Latin: jurisprudential, secara tehnis artinya
peradilan tetap atau hukum. Yurisprudensi adalah putusan hakim (judge made law)
yang diikuti hakim lain dalam perkara serupa (azas similia similibus), kemudian
putusan hakim itu menjadi tetap sehingga menjadi sumber hukum yang disebut
yurisprudensi. Yurisprudensi dalam praktek berfungsi untuk mengubah,
memperjelas, menghapus, menciptaka atau mengukuhkan hukum yang telah hidup
dalam masyarakat.
Dalam hukum adat, yurisprudensi hukum, selain merupakan
keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang hukum adat, juga
merupakan sarana pembinaan hukum adat, sesuai cita-cita hukum, sekaligus dari
yurisprudensi dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan – perkembangan hukum
adat, baik yang masih bersifat local maupun yang telah berlaku secara nasional.
Perkembangan-perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi akan memberikan
pengetahuan tentang pergeseran dan tumbuhnya hukum adat, melemahnya hukum adat
local dan menguatnya hukum adat yang kemudian menjadi bersifat dan mengikat
secara nasional. Perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi dapat dilacak
dalam beberapa hal antara lain:
1.
Prinsip Hukum Adat.
Hukum adat antara lain bersandarkan pada azas: rukun, patut,
laras, hal ini ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI Nomor:
3328/Pdt/1984 tanggal 29 April 1986.
Dalam Putusan MA-RI Nomor 2898 K/Pdt/1989 tanggal 19
Nomember 1989, berdasarkan sengketa adat yang dimbul di Pengadilan Kefamenanu,
Nusa Tenggara Timur, Mahkamah Agung menegaskan:
“ Dalam menghadapi kasus gugatan perdata yang fondamentum petendi
dan petitumnya berdasarkan pada pelanggaran hukum adat dan penegasan sanksi
adat; Bila dalam persidangan penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya, maka
hakim harus menerapkan hukum adat mengenai pasal tersebut yang masih berlaku di
daerah bersangkutan,setelah mendengar tetua adat setempat.
Kaedah hukum selanjutnya: “Penyelesaian pelanggaran hukum adat,
disamping melalui gugatan perdata tersebut di atas, dapat pula ditempuh melalui
tuntutan pidana ig pasal 5
(3)b UU No. 1 Drt/1951“.
2.
Menguatnya
Kedudukan Keluarga Inti (Gezin)
Golongan masyarakat adat di Indonesia terdiri dari golongan
masyarakat patrilineal, golongan masyarakat matrilineal dan golongan masyarakat
parental (bilateral). Dalam Perkembangannya ternyata semakin kuat dan diakuinya
pergeseran system kekeluargaan dalam masyarakat adat matrilineal dan masyarakat
adat matrilineal ke arah system parental atau bilateral. Yurisprudensi tanggal
17 Januari 1959b Nomor 320K/ Sip/ 1958 sebagai berikut:
1.
Si istri
dapat mewarisi harta pencaharian sang suami yang meninggal dunia;
2.
Anak yang
belum dewasa dipelihara dan berada dalam pengampuan ibu;
3.
Karena
anak berada dalam pengampuan ibu, maka harta kekayaan anak dikuasai dan diurus
oleh ibu.
3.
Menguatnya
Perlindungan kepada Perempuan Dalam Hukum Waris
a.
Kedudukan
anak Perempuan Dalam Hukum Waris
Semula menurut hukum adat dalam
masyarakat patrilineal, anak perempuan bukan ahli waris. Namun dalam
perkembangannya diakui oleh yurisprudensi bahwa anak perempuan sebagai ahli
waris almarhum orang tuanya.
b.
Kedudukan Janda dalam Hukum Waris
Perkembangan awal
seorang janda bukan ahli waris, dalam kenyataannya kemudian janda menjadi
menderita sepeninggal suaminya, kemudian timbul praktek pemberian hibah oleh
suami kepada istrinya untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sosial
ekonomi sepeninggal suaminya, praktek demikian semakin lama semakin melembaga.
Perkembangan hukum adat berikutnya adalah, janda sebagai ahli
waris bersama-sama dengan anak-anak almarhum suaminya. Selanjutnya janda
sebagai ahli waris yang kedudukannya sama dengan ahli waris anak. Perkembangan
selanjutnya janda sebagai ahli waris kelompok keutamaan, yang menutup ahli
waris lainnya.
Yurisprudensi Putusan MA No. 387K/Sip/1956 tanggal 29
Okt0ber 1958, Janda dapat tetap menguasai harta gono gini sampai ia meninggal
dunia atau kawin lagi. Puncaknya adalah Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
No. 3190K/ Pdt/`985, tanggal 26 Oktober 1987, janda memiliki hak waris dari
harta peninggalan suaminya, dan haknya sederajad dengan anak kandungnya, jika
tidak memiliki anak, ia jadi penghalang ahli waris saudara suaminya, terhadap
harta gawan dan harta gono gini.
c.
Prinsip-prinsip Jual Beli Tanah
Jual beli tanah sah bila memenuhi syarat terang dan tunai, hal ini
ternyata secara konsisten dipegang dalam yurisprudensi tentang jual beli tanah.
Terang artinya transaksi peralihan hak atas tanah harus disaksikan oleh Pejabat
Umum. Tunai artinya jual beli tanah hanya sah bila berlangsung adanya
pembayaran lunas dan penyerahan tanah pada saat yang sama.
d.
Prinsip
Pelepasan Hak Sebagai Dasar Timbul atau Hilangnya Hak Bukan Daluarsa Hukum adat tidak
mengenal lembaga daluarsa, melainkan mengenal apa yang disebut lembaga
pelepasan hak (rechsververking), artinya bila sebidang tanah dibiarkan, maka
lama kelamaan haknya akan menyurut dan puncaknya akan terlepas, seiring semakin
renggangnya hubungan fisik antara pemilik dan tanah yang bersangkutan demikian
juga sebaliknya.
4.
Hukum Pidana Adat.
Dalam
sistem
hukum adat, sesungguhnya tidak ada pemisahan hukum pidana
dengan hukum
lain sebagaimana sistem hukum barat, penjatuhan pidana semata-mata
dilakukan untuk menetapkan hukumnya (verklaring van recht) berupa sanksi adat (adatreaktie),
untuk mengembalikan hukum adat yang dilanggar. Hukum pidana adat mendapat
rujukan berlakunya dalam pasal 5 ayat 3 UU No. 1/Drt/1951.
Beberapa Yurisprudensi penting mengenai Hukum pidana
adapt adalah:
1.
Perbuatan melawan Hukum.
a)
Misalnya
PN Luwuk No. 27/Pid/ 1983, mengadili perkara hubungan kelamin di luar
perkawinan, hakim memutus terdakwa melanggar hukum yang dihupo di wilayah banggai, Sulawesi
Tengah, berdasarkan unsur pidana dalam pasal 5 ayat 3 sub b UU Drt 1/ drt/1951,
yang unsurnya adalah:
b)
Unsur
pertama, suatu perbuatan melanggar hukum yang hidup;
Unsur
kedua, perbuatan pelanggaran tersebut tidak ada bandingannya dalam KUHP;
Unsur ketiga, perbuatan pelanggaran tersebut masih tetap
berlaku untuk kaula-kaula dan oarng-orang yang bersangkutan.
Putusan PT
Palu No. 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 menguatkan putusan PN Luwuk, dengan
menambahkan bahwa, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, yang menganggap
perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana, hakim memutuaskan terdakwa telah
melakukan kejahatan bersetubuh dengan seorang wanita di luar nikah. Mahkamah
Agung, dengan putusan No. 666K/ Pid/ 1984 tanggal 23 februari 1985, perbuatan
yang dilakukan terdakwa dikatagorikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat.
Mahkamah
Agung dalam putusan Nomor 3898K/Pdt/1989, tanggal 19 Nopember 1992, mengenai
pelanggaran adat serupa di daerah Kafemenanu, mamun
diajukan secara perdata dengan gugatan, intinya: Jika dua orang dewasa
melakukan hubungan kelamin atas dasar suka sama suka yang mengakibatkan di
perempuan hamil, dan si laki-laki tidak bertanggung jawab atas kehamilan
tersebut, harus ditetapkan suatu sanksi adat berupa pembayaran belis (biaya atau mas
kawin) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan (di kenal dengan nama Pualeu
Manleu).
2.
Perbuatan
melanggar
hukum adat Logika Sanggraha di Bali.
Dalam
perkara Nomor 854K/Pid/1983 tanggal 30 Oktober 1984, Menurut Mahkamah Agung,
seorang laki-laki yang tidur bersama dengan seorang perempuan dalam satu kamar
dan pada satu tempat tidur, merupakan bukti petunjuk bahwa laki-laki tersebut
telah bersetubuh dengan wanita itu. Berdasarkan keterangan saksi korban dan
adanya bukti petunjuk dari para saksi-saksi lainnya, terdakwa telah bersetubuh
dengan saksi korban sebagaimana dimaksud dalam dakwaan subsider.
Mengenai
dakwaan primer, Mahkamah Agung berpendirian bahwa dakwaan ini tidak terbukti
dengan sah , karena unsur barang dalam pasal 378 KUHP tidak terbukti de gan sah
dan meyakinkan, dengan demikian maka terdakwa harus dibebaskan datri dakwaaan
primer ex pasal 378 KUHP. Berdasarkan pertimbangan di atas Mahkamah Agung dalam
diktum putusannya berbunyi:
1. Membebaskan
terdakwa dari dakwaan primer;
2. Menyatakan terdakwa bersaklah terhadap
dakwaan subsider melakukan tindak
pidana adat Logika Sanggraha;
3.Menghukum terdakwa
dengan hukuman
penjara dua bulan; Hukum adat pidana Logika Sanggraha di Bali Peswara
Bali, merupakan suatu perbuatan seorang pria yang memiliki unsur-unsur:
ü bersetubuh dengan seorang gadis;
ü Gadis tersebut menjadi hamil karenanya;
ü Pria tersebut tidak
bersedia mengawini gadis tersebut sebagai istrinya yang sah.
3.
.Putusan
Pengadilan negeri Mataram NO. 051/Pid.Rin/1988 tanggal 23 Maret 198854.
Pengadilan mempertimbangkannnya telah menyebut pelanggaran terhadap hukum adat delik
Nambarayang atau Nagmpesake.
4.
MA-RI Nomor 481 K/Pid/1986 tanggal 31 Agustus
1989 dari PN Ende Problematika organ tubuh wanita55, beberapa kali diterapkan
ketentuan pasal 378 KUHP, menempatkan organ tubuh peremuan sebagai barang.
Solusinya diterapkan pasal 5 (3) b Undang-undang Drt Nomor 1 Tahun 1951 LN.
Nomor 9 Tahun 1950 tanggal 13 Januari 1951. Dalam kasus serupa di pengadilan
Negeri Medan Nomor 571/KS/1980 tanggal 5 Maret 1980 pernah diterapkan ketentuan
pasal 378 KUHP dan dikuatkan oleh PT Nomor 144/Pid/ 1983 tanggal 8 Agustus
1983. Barang ditafsirkan secara luas , sehingga barang termasuk juga jasa.
Barang
sesuatu yang melekat bersatu pada diri seseorang ( kemaluan) juga termasuk
pengertian barang, yang dalam bahasa Tapanuli dikenal dengan ” Bonda” yang
artinya ” barang” yang tidak lain adalah ” kemaluan” . Sehingga bilama seorang
gadis menyerahkan kehormatannya kepada pria, maka samalah artinya gadis
tersebut menyerahkan barang kepada pri tersebut. Dengan penafsiran secara luas
tersebut, maka telah terpenuhi unsur barang dalam pasal 378 KUHP. Dalam praktek
kemudian banyak diikuti penegak hukum ( jaksa) Untuk menjerat seorang pria
yang berhasil menyetubuhi gadis yang akan dikawini, tetapi akhirnya pria ingkar
janji, dan gadis menjadi korban yang merana seumur hidup.
Dalam
putusan MA-RI Nomor 61 K/ Pid/ 1988 tanggal 15 Maret 199056, berdasarkan
perkara yang diputus pengadilan Negeri Pamekasan, penyelesaian tidak dapat
menggunakan ketentuan pasal 378 KUHP, melainkan dengan melalui jalur delik adat zina
ex pasal 5 (3) sub bUndang-undang Drt Nomor 1 Ytahun 1951 yang ada bandingannya
dalam KUHP, yaitu pasal 381 KUHP, sehingga pria si pelaku dapat dipidana. Sikap
MA-RI terhadap persoalan tersebut sejak putusannya Nomor 93K/Ke/1976, menjadi
yurisprudensi tetap
Penerapan
delik pasal 293 KUHP Pria yang ingkar janji kawin, MA menyatakan terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan:
” Penyesatan dengan sengaja , membujuk seorang yang belum
dewasa untuk melakukan perbuatan cabul, padahal tentang belum cukup umurnya itu
dihitung selayaknya harus diduganya;