Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Hukum Internasional


1 Pendahuluan

Perlu dibedakan konsep hukum internasional dalam praktek dan hukum internasional sebagai suatu dokumen tertulis dan/atau teori. Perbedaan ini terkadang menimbulkan persoalan yang dapat mengarah pada perdebatan yang tidak henti-heptinya. Di satu pihak hukum internasional mengatur hubungan antar subyek hukum untuk menjamin rasa keadilan, keamanan, dan ketertiban sedang di pihak lain sebagai suatu kenyataan dalam praktek bahwa begitu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh subyek hukum interriasional sehingga dirasakan oleh subyek hukum tertentu sebagai kondisi yang penuh dengan ketidakadilan, ketidakamanan, dan ketidaktertiban. Kondisi inilah yang mengundang pertanyaan, bagaimana perkembangan hukum internasional dan waktu ke waktu sampai era kontemporer. Berikut ini adalah uraian tentang sejarah hukum internasional secara kronologis beserta argumen-argumen dalam praktek hubungan antar bangsa.

2 Sejarah Hukum Internasional

Dalam menguraikan sejarah perkembangan hukum intemasional sejak keruntuhan Romawi hingga abad kelima belas oleh para penulis Barat, sangat langka mengungkap peranan para ilmuwan dan kerajaan-kerajaan Islam ketika mencapai puncak kejayaan. Pada umumnya dalam memaparkan perkembangan sejarah hukum internasional pada periode abad pertengahan, mereka hanya mengungkap tokoh-tokoh dari Eropah Barat, setelah perkembangan di negara-negara Yunani, Kekaisaran Romawi, dan Yahudi, langsung saja pada tokoh-tokoh yang dianggap pelopor hukum internasional di negara-negara Barat, seperti Santo Thomas Aquinas (1226-1274), De Vitoria (1486-1516) dan Suarez (1548-1617). Padahal, pada saat itu kerajaan-kerajaan dan ilmuwan Muslim pun ikut andil dalam membangun hukum internasional hingga pernah mencapai puncak kejayaan pada abad ketujuh sampai dengan abad ketiga belas sementara Eropah masih ada dalam kegelapan dan keterbelakangan.
Pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi, kebangkitan Islam melanda dunia. Pada masa kejayaan negaraAbasyiyah, Muawiyah, dan Usmaniah yang diperintah oleh umat Islam telah berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Sisilia, Italia Selatan, Prancis dan Spanyol dan beberapa daratan Eropah lainnya. Namun, ada kesalahan persepsi karena tak pernah diungkap oleh sejarawan Muslim adalah mengenai kepemimpinan Arab yang dianggap telah menyerang dunia Katholik, terutama pada masa perluasan wilayah sampai ke daratan Eropah. Perlu diluruskan bahwa kalaupun ada operasi penaklukan, sebenarnya itu adalah inisiatif perorangan, tidak mencerminkan politik luar negeri secara keseluruhan.
Tidak banyak terungkapkan tentang kontribusi Islam dalam praktek hukum intemasional pada masa silam, khususnya pads masa kejayaan negara-negara Islam, nampaknya karena lemahnya publikasi terutama oleh para sejarawan Muslim. Hamed A. Rabie (1981), seorang yang menulis “Islam and International Forces ” mengemukakan bahwa segala peristiwa penting yang terjadi sampai akhir abad 3 Hijrah – termasuk periode Harun Al-Rasyid – tidak mendapat tempat sama sekali dan tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan pemahaman dan persepsi politik yang membentuk pemikiran tentang kepemimpinan Islam. la pun mempertanyakan, apakah masuk akal suatu imperium yang mempunyai wilayah demikian luas tidak mempunyai konsep politik apa pun untuk hakikat dan segi-segi interaksi dengan dunia luar? la mencontohkan sebuah tulisan yang tak kurang pentingnya berjudul “Themes of Islamic Civilization ” (Tema-tema Peradaban Islam) yang ditulis oleh Alden Williams ternyata meninggalkan segala segi yang berhubungan dengan persepsi Islam terhadap dunia luar. Lebih lanjut, Hamed A. Rabie mengakui bahwa masalah hukum internasional dalam Islam belum merupakan obyek studi sampai sekarang. Menurutnya, ada dua fenomena yang perlu mendapat perhatian:
Pertama, fenomena umum tulisan hasil karya Barat tentang sejarah hukum internasional pada abad pertengahan dengan sikap melupakan peranan yang pernah dimainkan oleh peradaban Islam dalam membina tradisi hukum internasional. Pada masa ini, konsep umum hukum internasional adalah konsep Yahudi. Katholik dan Islam tidak memiliki persepsi sendiri.
Kedua, apabila menyelidiki tulisan-tulisan yang bernafaskan Islam, sekarang maupun terdahulu, tidak terdapat perhatian sungguh-sungguh terhadap dunia luar. Sesungguhnya, di negara-negara Islam tempo dulu banyak sarjana politik Islam yang telah menghasilkan karya-karya besar, seperti:

1) Al Farabi dari Transoxania (sekarang, Turkemania), yang hidup pads 260-339 H atau 870-950 M, seorang filsuf dan politikus terkenal dengan teorinya “Madinatu’l Fadilah” yang diterjemahkan menjadi Negara Utama (Model State).

2) Ibnu Sina (dalam tulisan Barat dikenal Avicenna) dan Belch (sekarang Afganistan), hidup pads 370-428 H atau sama dengan 980-1037 M, seorang dokter politikus, terkenal dengan teorinya “Siyasatu `rrajul” yang diterjemahkan menjadi Negara Sosialis (Socialistic State).

3) Imam Al Gazali dari Thus, Persia (sekarang, Iran), yang hidup pada 450-505 H atau 1058-1111, seorang sufi-politikus. la terkenal dengan teorinya “Siyasat ul Akhlaq ” yang terkenal dinamakan Negara Akhlak (Ethical State).

4) Ibnu Rusjd (dalam tulisan barat dikenalAverroes) dari Cordova, Andalusia (sekarang, Spanyol), yang hidup pada 520-595 H atau sama dengan 1126-1198 M, seorang hakim-politikus, terkenal dengan teorinya “Al Jumhuriyah wa’I Ahkam “, yang secara populer dinamakan pula “Negara Demokrasi” (Democtratic State).

5) Ibnu Kaldun dari Tunis (sekarang, Tunisia), yang hidup pada 732-808 H atau sama dengan 1332-1406 M, seorang sosiolog¬politikus yang terkenal dengan teorinya “Al Ashabiyah wa’1¬Igtidad ” yang lebih populer dengan “Negara Persemakmuran” (Welfare State).

Teori yang paling terkenal yang ada kaitannya dengan topik bahasan/ studi hukum internasional dari kelima teori tersebut adalah “Madinatu’1 Fadilah” yang ditulis oleh Al Farabi. Dalam buku tersebut Al Farabi membagi tingkat-tingkat masyarakat manusia yang berbentuk negara atas tiga tingkatan sbb.:

a. Kamilah Sugra (Masyarakat Kecil atau Negara Nasional)
b. Kamilah Wusta (Masyarakat Tengah atau Persekutuan Regional)
c. Kamilah Uzma (Masyarakat Besar atau Negara Internasional)

Namun Al-Farabi tidak secara rinci menjelaskan konsepsi dari tiga tingkatan bentuk negara. la hanya menyebut satu istilah untuk mayarakat kota yang sempuma dan diakui sudah berhak menj adi negara yang disebut “Madinah Kamilah”.
Bertolak dari pemikiran Hamed A.Rabie ini, nampaknya ada kesalahan dalam menyajikan sejarah hukum internasional, terlepas apakah disengaja maupun tidak. Sebagai ilustrasi, di kalangan para ilmuwan dan para penulis Barat maupun mahasiswa di bidang studi hukum internasional telah dikenal bahwa St. Thomas Aquino (1226¬1274) dianggap telah memberi garis-garis besar (basic principles) bagi Negara Dunia. Bahkan dalam buku “Indonesia dan Hubungan Antarbangsa” yang ditulis oleh Sumarsono Mestoko (1985) dikemukakan bahwa Santo Thomas Aquinas adalah pelopor dalam hubungan dan hukum internasional. Padahal apabila mengungkap sejarah, ternyata St. Thomas Aquinas adalah murid yang setia dari Al Farabi dan pengikut dalam Aristotelianisme yang dihimpunkan oleh Al Farabi. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa teori negara dunia yang dikemukakan oleh para ahli kemudian adalah berasal dari faham Kamilah ‘Uzma Al Farabi.
Sebagai seorang filsuf-politikus muslim, Al Farabi tentunya mengembangkan teorinya didasari oleh ajaran-ajaran Islam yang ada dalam Al Qur’ an. Di dalam Kitab Suci ini telah dikemukakan 5 prinsip hidup dalam lingkungan masyarakat internasional, yakni:

1) Tentang asal kejadian manusia dari kejadian yang lama (Cre¬ation of mankind from the same couple) yang tertera dalam QS An Nisa ayat 1 dan QS Al Hujarat ayat 13.

2) Seluruh umat manusia adalah umat yang satu (Mankind is one community) yang tertera dalam QS Al Baqarah ayat 213 dan QS Yunus ayat 20.

3) Panggilan Islam untuk seluruh manusia (Islam s universal call) yang diterangkan dalam QS Yusuf ayat 104, QS Takwir ayat 27, QS As Saba ayat 28, dan QS Al Anbiya ayat 107.

4) Tentang perbedaan kulit dan bahasa (Difference of color and language) yang diuraikan dalam QS Ar Rum ayat 22 dan QS Al Hujarat ayat 13.

5) Perintah hidup berlapang dada (Toleration par excellence) yang dijelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 62 dan QS Al Maidah ayat 69.


3 Zaman Hubungan Antar Negara Modern

Masa kelahiran negara modem diawali oleh suatu gerakan Re¬naissance (Pencerahan) yang terjadi di Eropah dan sekaligus mengakhiri masa periode abad pertengahan (Middle Ages). Masa renaissance dianggap pula sebagai masa transisi dari mass kegelapan di Eropah (the Dark Ages) kepada masa negara-bangsa modem, eksplorasi, dan permulaan dalam bidang komersial. Renaissance disebut pula sebagai gerakan kebangkitan Eropah yang terjadi pada abad ke-14, dan mencapai puncaknya pads abad ke-15 dan 16 Masehi. Setelah lahimya pemikiran bare ini, hokum antar bangsa lebih banyak dilakukan melalui negara daripada melalui individu. Raja-raja di Eropah tidak lagi tunduk pada kekuasaan Gereja. Re- . naissance telah betul-betul merubah tatanan kehidupan yang biasa dilakukan pada abad pertengahan.
Munculnya negara-negara modem ditandai dengan adanya pembentukan negara-negara besar dengan asas kedaulatan (Sovereighnty) yang menyatakan bahwa seorang penguasa di suatu wilayah negara mempunyai kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak di daerah dan atau negaranya. Dengan demikian bangsa dan negara lain harus saling menghornati eksistensi dan integritas bangsa dan negara lainnya. Kelahiran negara-negara modem ini dimulai sejak adanya perjanjian perdamaian Westphalia (1648), yakni peristiwa yang mengakhiri perang selama tiga puluh tahun di Eropah. Negara¬negara Eropah pada saat itu mulai menginjakkan kaki di benua lain, Asia, Afrika, bahkan Amerika, dan memperoleh wilayah jajahan/ kolonial.
Perkembangan hukum internasional pada abad ke- 16, 17, dan 18, secara teoritis banyak didominasi oleh para ilmuwan-ilmuwan Barat terutama dari Spanyol, Belanda dan Italia. Alberico Gentilis, seorang sarjana hukum dari Italia menerbitkan buku yang berjudul De Jure Belli Libri Tres (1958) sangat mempengaruhi terhadap pemikiran-pemikiran penulis berikutnya. Hugo de Groot (1583¬1645) atau dikenal pula dengan nama Grotius, seorang Belanda ahli hukum internasional modem karena berhasil menulis buku yang berjudul De Jure Praedae dan De Jure Belli Ac Pacis (1625). Selain itu, is pun mengemukakan konsepsi Mare Liberium (konsepsi laut bebas). Di Inggris, ahli hukurn intemasional yang beraliran posi¬tivist bernama Zouche (1590-1660) sedangkan yang lainnya adalah Puffendorf (1632-1694), seorang yang beraliran hukum kodrat.. Dengan kata lain, masa hubungan antarnegara modem ini ditandai oleh banyaknya lahir penulis-penulis hukum dan hubungan intemasional.


4 Zaman Abad Kesembilan Belas dan Dua Puluh (Super State Stage)

Perkembangan hukum intemasional pads abad kesembilan belas mengalami perubahan bila dibandingkan dengan kondisi parla masa negara modem. Menurut Holsti (1983), hal yang paling menonjol dari perkembangan pads abad kesembilan belas adalah ditandai oleh adanya kebangkitan nasionalisme dari setiap negara-bangsa, adanya perang teknologi, dan terjadinya konflik ideologi.
Apabila pada abad sebelumnya, banyak negarawan dan raja yang saling mempertukarkan wilayah secara mudah dengan kriteria pertimbangan strategi dan ekonomi, maka pada abad kesembilan belas, banyak pemimpin nasionalis yang berpendapat bahwa landasan yang sah untuk menentukan suatu organisasi politik (negara) adalah kelompok etnik atau kelompok bahasa yang jelas dan oleh karena itu negara harus berdasarkan pada alasan nasionalisme. Akibat adanya pengaruh ajaran nasionalis inilah, maka muncullah berbagai gerakan nasionalis di Eropah.. Berbagai pemberontakan kelompok nasionalis. terjadi di sejumlah negara, seperti Rusia, Austria-Hongaria, dan Swedia-Norwegia. Akibat lebih jauh dari gerakan nasionalisme adalah pemanfaatan masa oleh pemerintah atau pemimpin negara untuk melakukan mobilisasi rakyat dalam melakukan diplomasi dan peperangan. Padahal sebelumnya, pemerintah mengalami kesulitan untuk menggerakkan rakyatnya dalam rangka menggalang kekuatan nasional.
Dalam bidang teknologi, negara-negara bangsa pada abad kesembilan belas mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi termasuk teknologi perang. Kemajuan dalam sistem persenjataan nuklir adalah kontribusi yang paling revolusioner dari bidang ilmu dan teknologi terhadap perang. Akibatnya, jumlah korban perang pun mengalarni peningkatan yang sangat drastis. Sedangkan, latar belakang terjadinya konflik bersenjata dipengaruhi pula oleh adanya konflik ideologi yang berbeda-beda, seperti munculnya doktrin Naziisme, Komunisme, dan Demokrasi Liberal.
Pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, diadakan dua Konferensi Perdamaian di Den Haag (Belanda) masing-masing tahun 1899 dan 1907. Konferensi ini merupakan tonggak tentang konsepsi pergaulan dunia dan mencita-citakan atau melakukan pencegahan perang. Namun, akhirnya terjadi Perang Dunia 1 (1914-1918), sehingga seolah-olah telah menggagalkan hasil-hasil dari dua konferensi tersebut. Pada akhir Perang Dunia 1, masyarakat dunia berhasil mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang bertujuan untuk mencegah terulangnya kembali perang yang telah mengakibatkan banyak korban. Namun, upaya inipun temyata mengalami kegagalan, yakni sejak tahun 1933 ketika Jepang menyerbu Mancuria dan Italia menyerbu Ethiopia yang puncaknya terjadi Perang Dunia 2 yang meletus pada tahun 1939 sampai tahun 1945.

Sistem hukum internasional pada abad kedua puluh ini disebut pula sebagai sistem global kontemporer. Perbedaan yang mencolok dari sistem hukum ini adalah ditandai oleh semakin pentingnya kedudukan organisasi internasional yang lahir dari adanya perjanjian antar negara. Menurut Holsti (1983), ada beberapa hal yang membedakan sistem internasional kontemporer dengan sistem Eropah pada abad sebelumnya: 

(1) meningkatnya jumlah tipe-tipe negara; 

(2) adanya potensi destruktif yang besar dari negara-negara yang memiliki persenjataan nuklir; 

(3) semakin besarnya ancaman dari luar termasuk subversi, pengaruh ekonomi dan penaklukan militer; 

(4) makin pentingnya aktor-aktor non negara, seperti gerakan pembebasan nasional, perusahaan multinasional, kelompok kepentingan internasional, dan partai-partai politik yang melampaui batas negara; 

(5) posisi yang menonjol yang telah dicapai oleh tiga negara non Eropah, ialah Uni Sovyet (sekarang Rusia), Cina, dan Amerika Serikat.

Aktor-aktor non negara dapat meliputi organisasi interasional, organisasi internasional regional maupun gerakan multinasional. Aktor-aktor semacam ini dapat meliputi: Peserikatan Bangsa¬Bangsa, Gerakan Non Blok, Liga Arab, NATO, ASEAN, MEE, dan sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar