Senin, 13 Februari 2012

Sejarah Pemerintahan Indonesia

Sejarah Pemerintahan Indonesia


Sejarah pemerintahan Indonesia ini tidak terlepas dari sejrah terbebtuknya negara indonesia sehigga disini saya memaparkan sejarah nergara Indonesia juga sehingga lebih mudah menjelaskan sistem pemerintahanya . Sejarah pemerintahan Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah oleh "Manusia Jawa" pada masa sekitar 500.000 tahun yang lalu. Periode dalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20; era kemerdekaan, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta era reformasi yang berlangsung sampai sekarang. Kedatangan gelombang penduduk berciri Mongoloid ini cenderung ke arah barat, mendesak penduduk awal ke arah timur atau berkawin campur dengan penduduk setempat dan menjadi ciri fisik penduduk Maluku serta Nusa Tenggara. Pendatang ini membawa serta teknik-teknik pertanian, termasuk bercocok tanam padi di sawah (bukti paling lambat sejak abad ke-8 SM), beternak kerbau, pengolahan perunggu dan besi, teknik tenun ikat, praktek-praktek megalitikum, serta pemujaan roh-roh (animisme) serta benda-benda keramat (dinamisme). Pada abad pertama SM sudah terbentuk pemukiman-pemukiman serta kerajaan-kerajaan kecil, dan sangat mungkin sudah masuk pengaruh kepercayaan dari India akibat hubungan perniagaan.


ERA PRA COLONIAL
Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatra sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan tanggal adalah dari abad ke-5 mengenai dua kerajaan bercorak Hinduisme: Kerajaan Tarumanagara menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425 agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut.Di saat Eropa memasuki masa Renaisans, Nusantara telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dengan dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa, ditambah dengan puluhan kerajaan kecil yang sering kali menjadi vazal tetangganya yang lebih kuat atau saling terhubung dalam semacam ikatan perdagangan (seperti di Maluku).
Kerajaan Hindu-Buddha


Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.


Kerajaan Islam
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7. Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.


Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah.Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatra. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut. Penyebaran Islam dilakukan/didorong melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan islam yg datang dari luar Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan/kesultanan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kesultanan/Kerajaan penting termasuk Samudra Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram di Yogja / Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur.


Era kolonial
Kolonisasi Portugis
Kolonisasi VOC

Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.


Kolonisasi pemerintah Belanda
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.


Gerakan nasionalisme
Pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.


Perang Dunia II
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke AS dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.


Pendudukan Jepang
Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang.Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.


Era kemerdekaan : Proklamasi kemerdekaan
Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan "Proklamasi" pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.

Perang kemerdekaan: Indonesia Era 1945-1949

Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949 (lihat artikel tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.Lihat pula The National Revolution, 1945-50 untuk keterangan lebih lanjut (dalam bahasa Inggris).


Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.


Demokrasi Terpimpin

Indonesia: Era Demokrasi Terpimpin

Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.


Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.


Era Orde Baru
Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dia juga memperkaya dirinya, keluarganya, dan rekan-rekat dekat melalui korupsi yang merajalela.


Krisis ekonomi
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.


Era reformasi

Pemerintahan Habibie

Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

Pemerintahan Wahid

Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.


Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.

Pemerintahan Yudhoyono

Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.



Pengertian dan Ruang Lingkup Administrasi Kepegawaian

Pengertian Administrasi Kepegawaian
Administrasi kepegawaian berkaitan dengan penggunaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kegiatan belajar ini telah dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian, ruang lingkup, dan fungsi/aktivitas kepegawaian.
Sistem Administrasi Kepegawaian
Sistem administrasi kepegawaian adalah bagian dari administrasi negara yang kebijaksanaannya ditentukan dari tujuan yang ingin dicapai. Pola kebijaksanaannya tergantung pada bentuk negara yang dianut suatu negara, apakah federal ataukah kesatuan.
Kebijaksanaan dasar sistem administrasi kepegawaian di negara kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Fungsi Teknis Administrasi Kepegawaian
Administrasi kepegawaian pada hakikatnya melakukan dua fungsi yaitu fungsi manajerial, dan fungsi operatif (teknis). Fungsi manajerial berkaitan dengan pekerjaan pikiran atau menggunakan pikiran (mental) meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian pegawai. Sedangkan fungsi operatif (teknis), berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan fisik, meliputi pengadaan, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan, dan pemensiunan pegawai.
FUNGSI UMUM ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN

Perencanaan Pegawai
Perencanaan pegawai dapat didefinisikan sebagai proses penentuan kebutuhan pegawai pada masa yang akan datang berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi dan persediaan tenaga kerja yang ada. Perencanaan pegawai merupakan bagian penting dari dan sebagai kontributor pada proses perencanaan strategis karena membantu organisasi dalam menentukan sumber-sumber yang diperlukan dan membantu menentukan apa yang benar-benar dapat dicapai dengan sumber-sumber yang tersedia.
Perencanaan pegawai yang baik akan memperbaiki pemanfaatan pegawai, menyesuaikan aktivitas pegawai dan kebutuhan di masa depan secara efisien, meningkatkan efisiensi dalam merekrut pegawai baru serta melengkapi informasi tentang kepegawaian yang dapat membantu kegiatan kepegawaian dan unit organisasi lainnya. Melalui perencanaan dapat diketahui kekurangan dibanding kebutuhan sehingga dapat dilakukan perekrutan pegawai baru, promosi, dan transfer secara proaktif sehingga tidak mengganggu kegiatan organisasi.
Dalam membuat perencanaan pegawai perlu diperhatikan faktor internal dan eksternal organisasi. Di samping itu, perlu pula diperhatikan langkah-langkah yang harus ditempuh sebagaimana dikemukakan Miller Burack dan Maryann.

Pengorganisasian Kepegawaian
Pengorganisasian adalah suatu langkah untuk menetapkan, menggolong-golongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan yang dipandang perlu, penetapan tugas dan wewenang seseorang, pendelegasian wewenang dalam rangka untuk mencapai tujuan. Pengorganisasian mengantarkan semua sumber dasar (manusia dan nonmanusia) ke dalam suatu pola tertentu sedemikian rupa sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya dapat bekerja sama secara berdaya guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu akibat dari pengorganisasian adalah terbentuknya struktur organisasi dan dalam struktur organisasi akan nampak bagaimana hubungan antara satu unit dengan unit lain. Dengan kata lain, struktur organisasi akan mempengaruhi aliran kerja, delegasi wewenang dan tanggung jawab, sistem kontrol dan pengendalian, serta arus perintah dan pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam mendesain struktur organisasi bagian kepegawaian perlu dipertimbangkan berbagai faktor sebagaimana telah diuraikan dalam kegiatan belajar ini.

Pengarahan Pegawai
Ada banyak teori dan keyakinan tentang apa yang memotivasi pegawai. Secara keseluruhan tidak ada kesepakatan tentang motivasi. Oleh karena itu, sangat sulit bagi organisasi untuk sampai pada kebijakan dan pendekatan yang akan memuaskan semua pegawai. Selain itu, bagi organisasi dengan skala apa pun, membuat analisis mendalam tentang apa yang memotivasi setiap pegawai adalah tidak praktis. Namun, ada aturan-aturan praktis yang dapat diikuti setidak-tidaknya untuk membantu memotivasi pegawai dan meningkatkan kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut.
  1. Jelaskan kepada para pegawai apa yang dimaksud dengan kinerja efektif dan pastikan bahwa mereka mengetahui apa yang diharapkan dari mereka;
  2. Pastikan bahwa ada hubungan jelas antara kinerja dan penghargaan (imbalan) dan bahwa setiap hubungan semacam itu dikomunikasikan kepada para pegawai;
  3. Pastikan bahwa semua pegawai diperlakukan secara adil dan penilaian tentang kinerja adalah objektif;
  4. Bilamana mungkin, kembangkan jenis-jenis penghargaan yang berbeda, tidak semua orang dapat dinaikkan pangkatnya (dipromosikan) atau perlu dinaikkan pangkatnya;
  5. Doronglah semangat seluwes mungkin di dalam lingkungan kerja dan kembangkan gaya manajemen yang mudah diserap dan mampu diubah-ubah untuk menyesuaikan orang dan lingkungan
  6. Kembangkan sebuah sistem manajemen kinerja atau setidaknya tetapkan sasaran yang dapat dicapai tetapi dapat terus berkembang;
  7. Perhitungkan semua faktor lingkungan dan sosial, seperti kenyamanan dan sarana lingkungan kerja, interaksi sosial diantara pegawai, pokoknya semua faktor yang dapat menjadi sumber ketidakpuasan.

Pengendalian Pegawai
Pengawasan sebagai bagian dari pengendalian merupakan proses pengukuran dan penilaian tingkat efektivitas kerja pegawai dan tingkat efisiensi penggunaan sarana kerja dalam memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan organisasi. Setiap kegiatan pengawasan memerlukan tolok ukur atau kriteria untuk mengukur tingkat keberhasilan dalam bekerja, yang dalam penilaian kinerja disebut standar pekerjaan.
Standar adalah suatu kriteria atau model baku yang akan diperbandingkan dengan hasil nyata. Banyak jenis standar yang dapat dipergunakan dalam pengendalian kegiatan-kegiatan kepegawaian. Dalam mengendalikan unit/bagian kepegawaian, pimpinan harus mampu menemukan butir-butir pengendalian strategis yang dapat dipantau berdasarkan penyimpangan.
PENGADAAN PEGAWAI
Perencanaan dan Rekrutmen
Salah satu fungsi Kepegawaian adalah pengadaan pegawai. Dalam kegiatan pengadaan pegawai ini harus dilihat apakah ada formasi yang lowong, di samping itu perlu pula dilihat kebutuhan sumber daya manusia, banyaknya kebutuhan dan jenisnya pekerjaan. Setelah pasti ada formasi yang lowong, maka baru diadakan serangkaian kegiatan untuk menjaring pegawai yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit beserta kualifikasinya.
Sedangkan perekrutan merupakan proses penarikan sejumlah calon yang memiliki potensi untuk ditarik menjadi pegawai yang dilakukan melalui berbagai macam kegiatan. Perekrutan yang efektif secara konseptual memiliki beberapa hambatan yang dapat bersumber dari kebijakan organisasi maupun dari perencanaan sumber daya manusia. Dalam ketentuan perundang-undangan Kepegawaian Negara terdapat ketentuan yang mengatur formasi yaitu Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2003 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil.
Dalam rangka menentukan jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu unit organisasi, harus ditetapkan oleh seorang pejabat yang berwenang dalam jangka waktu tertentu berdasarkan jenis, sifat dan beban kerja yang harus dilaksanakan, dengan tujuan agar unit organisasi itu mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan tepat pada waktunya.

Seleksi, Orientasi, dan Pengangkatan
Kegiatan seleksi tidak hanya merupakan proses pemilihan pegawai dari sekian banyak pelamar yang dijaring melalui proses perekrutan, tetapi juga proses pemilihan calon pegawai terhadap organisasi yang akan dimasuki. Pegawai yang telah lolos seleksi akan diprioritaskan untuk mengikuti kegiatan orientasi sebelum yang bersangkutan ditempatkan dan mulai bekerja. Orientasi sangat penting terutama bagi pegawai baru. Hal ini dikarenakan apa yang diperoleh pertama kali seseorang memasuki dunia kerja akan berkesan lama, dan ini akan mempengaruhi pegawai tersebut.
Orientasi merupakan upaya untuk mensosialisasikan nilai-nilai organisasi, pekerjaan, dan rekan-rekan pada pegawai baru, yang dilakukan melalui sebuah program formal maupun informal. Bagi pegawai lama yang akan menduduki jabatan baru, orientasi juga perlu. Mereka dapat belajar terlebih dahulu tanggung jawab yang akan dikerjakannya.

Sumber buku Administrasi Kepegawaian Karya Enceng dkk

SISTEM ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN


Intansi Vertikal Ada 2 yaitu :

1, Pada wilayah provinsi ( berdasarkan kewenagan pusat dalam bidang politik laur negeri, keuangan,peradilan,agam, pertahanan dan keamana. ).

2, Pada wilayah kabupaten atau kota.

System Kepegawaian Daerah ada 3 sistem pengelolaan kepegawaian :
1, Integrated system ( manajemen kepegawain ditentukan pusat ),
2. Separated system ( dilaksanakan masing – masing daerah ),
3. Unified system ( lembaga di tingkat nasional yang khusus dibentuk untuk keperluan tersebut.

Kepegawaian negeri terdiri : PNS, anggota TNI, dan POLRI
Formasi dan Perekrutan Pegawai
Formasi PNS terdiri : Formasi PNS pusat dan Formasi PNS daerah
Kewenangan Pemerintah Dan Distribusinya

UU No 5 tahun 1974 pasal (1) :

Kewenangan pemerintah umum, Kristiandi (1992), kewenagan ini meliputi pengsaturan kehidupan politik,social,ketertiban,pertahanan dan keamanan.
Kewenangan diluar kewenagan pemerintahan umum,meliputi penyediaan pelayanan masyarakat dalam arti luas,seperti pelayanan kesehatan,pos dan telekomunikasi.
Homes (1991)

Dasar pendistribusian kewenangan antara pusat dan daerah terdiri dari 2 :

  1.  berdasarkan pada basis kewilayahan ( teitorial )
  2.  berdasarkan basis fugsional.

  1. Pada basis territorial kewenagan untuk menyelengarakan urusan – urusan local distribusikan antara satuan wilayah dan pemerintahan local.
  2.  Pada basis fugsional kewenagan untuk menyelenggarakan urusan – urusan local didistribusikan antara kementrian – ementrian pusat yang bersifat khusus dan egen – egen yang berada diluar knator pusat sebagai pelaksana kebijakan darinya.

HOMES IV (1991) Dasar pendistribusaian kewenagan antara pusat dan daerah terri dari dua pendekatan.
  1.  Berdasrkan pada basis kewilayahan ( teritorial)
  2. Pada basis territorial kewenagan untuk menyelengarakan urusan local didistribusikan diantara satuan wilayah dan pemerintah local.
  3. Pada basis fungsional kewenagan untuk menyelenggarakan urusan local didistribusikan antara kementrian pusat yang bersifat khusus dan again- agenya yang berada diluar kantor pusatnya sebagai pusat pelaksasnaan kebijakan darinya.
  4.  Empat variasi pengendalian penyelengaraan pemerintahan yang bersifat local :

• Organisasi intenal
• Hybrid ( subsidi )
• Hybrird super visi
• Anta organisasi

Penyerahan wewenag pemerintah pusat kepada daerah terdira atas :
  1. Materi wewenag.
  2. Manusia yang diserahi wewenag.
  3.  Wilayah yang diserahi wewenag.
Penyerahan wewenag pemerintahan pusat kedaerah dilakukan dengan cara :
  1. Ultra vires dokrin.
  2.  Open end arrangement atau genersi kompeten.

Kewenagan pemerintah pusat :
  1. Politik luar negeri.
  2. Pertahanan dan keamanan.
  3. Yustisi ( peradilan ). \
  4. Moneter dan fisikal nasional.
  5.  Agama

Kewenagan provinsi dan kabupaten/ kota :
  1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan.
  2.  Perencanaan, pengawasn dan pemanfaatan tata ruang.
  3.  Penyelengaraan ketertipan umum dan ketentraman masyrakat.
  4.  Penyedian sarana dan prasarana umum.
  5.  Penaganan bidang kesehatan.
  6. Penyelengaraan bidang pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.
  7.  Penaggulanga masalah social lintas kabupaten.
  8.  Fasilitasi pengembangan koperasi,usaha kecil da menegah.
  9.  Pengendalian lingkungan hidup.
  10.  Pelayanan pertahanan.
  11.  Pelayanan kependudukan dan capil
  12.  Pelayanan administrasi uum pemerintahan.
  13.  Pelayanan administrasi penanaman modal.
  14.  Pelayanan dsar lainya.
  15. Urusan wajib lainya yang diamankan oleh peraturan uu.

Kewengan pemerintah pusat ekuasaan presiden sebagi kepala perintah pusat :
  1.  segai eksekuti.
  2.  Sebagai legislative.

Kekuasan presiden sebagai kepala Negara.
Mentri dibagi atas empat jenis : mentri,coordinator.memimpin depertemen,non depertemen, mentri negar

Dalam UU no.32/2004 pasal 10 ayat 3 tentang kewenagan pemerintah pusat antara lain.
  1. Politik luar negeri pertahanan
  2. Keamanan
  3. Perasilan
  4. Moneter dan fisikal
  5. Agama

Desentralisasi Korupsi di era Otonomi

DESENTRALISASI KORUPSI MENGIRINGI OTONOMI DAERAH?
Oleh:
Drs. I Wayan Sudana, M.Si


Pada umumnya harapan masyarakat menghendaki adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan, partisipasi yang lebih luas dalam bidang politik dan ekonomi dalam sebuah negara. Namun, melihat peran negara yang dominan dan dikelola secara sentralistik dan otoriter, gagasan tentang desentralisasi kemudian menjadi energi baru bagi masyarakat untuk mendobrak hegemoni negara. Dukungan yang luas terhadap gelombang desentralisasi memunculkan pertanyaan bagaimana kapasitas institusi lokal dalam merespon perubahan tersebut?. Kapasitas ini terkait dengan ranah pengembangan demokrasi, pelayanan publik, ekonomi dan lain sebagainya.
Memasuki tahun 1999, politik Indonesia sedang menjalani proses perubahan yang sangat dramatis menyusul turunnya Soeharto dari posisi kepresidenan pada bulan Mei 1998. Sentralisasi pengelolaan ekonomi dan politik yang menjadi karakter utama sistem politik Orde Baru telah menjadi sasaran kemarahan masyarakat daerah di seluruh Indonesia. Hal ini mengakibatkan ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Ketegangan hubungan tersebut ditandai dengan beberapa tuntutan: pertama, kebangkitan identitas kedaerahan yang seringkali didasarkan pada solidaritas etnis yang menjadi institusi sosial dan ideologis untuk berhadapan dengan pemerintah pusat. Hal ini terjadi di sejumlah daerah yang sensitif secara politk dan signifikan secara ekonomi terutama, Aceh, Irian Jaya, Riau, dan Kalimantan Timur. Kedua, meluasnya tuntutan daerah untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas, bahkan muncul dalam tuntutan perubahan format pengaturan politik dari negara kesatuan ke bentuk negara federal. Ketiga, mengerasnya diskursus publik mengenai keharusan bagi desentralisasi, dan bahkan federalisme, sebagai solusi terbaik bagi kelangsungan negara kesatuan.
  1. Tuntutan yang mengeras ditengah merosotnya kapasitas negara memaksa pemerintah melakukan langkah-langkah politik penting untuk mengakomodasinya dengan dikeluarkannya Kebijakan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Terlepas dari sejumlah kritik, UU tersebut secara prinsip melakukan perubahan mendasar, terutama karena ia memangkas kekuasaan pusat dan sebaliknya memberi ruang politik yang sangat besar bagi daerah untuk mengatur diri. UU ini menggeser locus politik dari Jakarta ke daerah-daerah, terutama ke kabupaten/kotamadya. Pemberlakuan penerapan penyelenggaran pemerintahan daerah yang bersifat otonom sebagai konsekwensi dari pelaksanaan asaz desentralisasi akan mungkin dicapai apabila adanya beberapa aspek pendukung sebagai elemen pemerintahan daerah yakni: 1) penataan urusan pemerintahan; 2) penataan kelembagaan daerah; 3) penataan personil; 4) penataan keuangan daerah; 5) penataan perwakilan; 6) penataan pelayanan publik; 7) penataan pengawasan.. Akan tetapi, kondisi  yang terjadi saat ini dalam perjalanan pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke daerah yakni;  29 urusan yang didesentralisasikan kedaerah terjadi tumpang tindih antar tingkatan pemerintahan dalam pelaksanaan urusan tersebut karena belum sinkronnya antara UU Otda dengan UU Sektor. Disamping  itu terjadi tarik menarik urusan, khususnya urusan yang mempunyai potensi pendapatan (revenue). Serta adanya gejala keengganan dari Departemen/LPND untuk mendesentralisasikan urusan secara penuh karena kekhawatiran daerah belum mampu melaksanakan urusan tsb secara optimal akibat dari tidak jelasnya mekanisme supervisi dan fasilitasi oleh Departemen/LPND terhadap daerah karena ketidak jelasan mekanisme kordinasi antara Depdagri sebagai pembina umum dengan Departemen/LPND sebagai pembina tehnis
diiringi adanya desentralisasi korupsi. Di samping itu, pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada daerah punya konsekwensi serius yang belum banyak mendapat perhatian yaitu: Pertama, bisa berakibat bangkitnya kembali aristokrasi atau feodalisme lokal dengan segala akibatnya bila tidak disertai dengan arena demokasi lokal yang kuat .Hal ini masih bisa ditemukan dalam interaksi sosial di masyarakat lokal (Riswandha Imawan). Kedua, pengalihan kekuasaan kepada daerah-daerah yang masih ditandai oleh bekerjanya struktur politik yang bersifat otoritarian, akan berakibat pada pengalihan otoritarianisme negara dari Jakarta ke daerah-daerah (Cornelis Lay). Ketiga, keterbatasan pengalaman daerah dalam mengelola birokrasi pelayanan, keterbatasan sarana dan prasarana akan beresiko terjadinya inefisiensi dan inefektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
Terkait dengan beberapa konsekwensi pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada daerah di atas, tulisan ini tidak mengikuti logika yang dikembangkan oleh UU pemeintahan daerah No. 22/1999 tersebut. Namun, dalam paparannya lebih berorientasi pada tataran untuk melihat kasus-kasus korupsi di daerah sebagai desentralisasi korupsi.
Desentralisasi Korupsi

UU No. 22/1999 menyebutkan “Desentralisasi” adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI. Sedangkan “Otonomi Daerah” adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya UU No. 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. “korupsi” berarti perbuatan setiap orang baik pemerintah maupun swasta yang secara melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberian otonomi kepada daerah-daerah adalah sebagai konsekwensi penyelenggaraan asas desentralisasi. Namun, dalam otonomi daerah tidak hanya kekuasaan yang terdesentralisasi akan tetapi juga di iringi oleh korupsi.
Maraknya kasus-kasus korupsi di daerah yang diberitakan lewat media massa, beberapa bulan terakhir di tahun 2003, sebagai suguhan menarik sekaligus memprihatinkan terhadap perilaku para aparatur pemerintah.di berbagai daerah seperti: “Korupsi mempersatukan DPRD” (Jawa Pos, 13-3-2003). “Wakil Rakyat Suka Uang Rakyat” (Kompas, 9-3-2003). “DPRD Yogyakarta membagi dana Rp. 700 juta untuk 40 anggotanya atau Rp. 17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan keskretariatan” (Kompas, 4-9-2002). ”Terkait kasus penyimpangan APBD di Bali” (Bali Post, 13-1- 2005). Kasus “Abdulah Puteh” Gubernur Non Aktif  Nangroe Aceh Darusalam, terdakwa korupsi pembelian Helikopter senilai Rp. 12,5 miliar” (Nusra, 23-1-2005). Gambaran dari fenomena di atas, mempertegas asumsi awal otonomi daerah, bahwa akan terjadi penyebaran dan perpindahan tingkat korupsi dari pusat ke daerah-daerah. Ini menunjuukan penyebaran korupsi di daerah sudah pada tahap yang sangat serius. Kasus korupsi anggaran yang terjadi di DPRD di daerah-daerah hampir di seluruh Indonesia menunjukkan freelance corruption. Di mana di tengah keterbatasan dana pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Walaupun hanya diungkapkan beberapa kasus, namun merupakan gejala umum yang terjadi juga di daerah lain. Karena itu, dalam otonomi daerah korupsi telah terdesentralisasi seirng dengan desentralisasi kekuasaan. Hal ini bila tidak segera ditangani, boleh jadi muncul kekecewaan terhadap program otonomi daerah sehingga kekuatiran akan muncul resentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat.

Mencegah Korupsi di Daerah

Salah satu penyebab penyebaran korupsi secara mendasar di daerah karena kekuasaan yang demikian besar pada elite lokal. Untuk mencegah korupsi di daerah adalah dengan membatasi kekuasaan pemerintah daerah dan khususnya DPRD. Sistim demokrasi perwakilan telah memberikan kekuasaan yang besar kepada wakil rakyat untuk public trust seperti sekarang ini. Karenanya sistem demokrasi langsung sekarang ini relevan dikedepankan, khususnya terhadap beberapa hak demokrasi yang fundamental seperti memilih kepala daerah, melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara di tingkat daerah yang selama ini menjadi ajang politik dagang sapi, money politik, kompromi-kompromi politik, dan lain sebagainya
Disamping itu, yang diperlukan dalam pencegahan korupsi adalah sebuah reform terutama oleh wajah-wajah baru untuk tampil dalam melakukan perubahan yang secara materiil tidak memiliki halangan apapun, terutama menyangkut struktur politik dan ekonomi. Sebab tanpa perubahan seperti telah kita saksikan, partisipasi masyarakat dalam membasmi korupsi dan sejumlah agenda reformasi nampak tidak banyak artinya. Melihat realita yang berkembang partisipasi masyarakat ini, dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah, setidaknya perlu upaya penguatan masyarakat dalam kemampuan mengontrol proses politik dan administrasi di daerah, terutama dalam pemilihan kepala daerah, penyusunan APBD serta pelayanan publik di daerah.


NETRALITAS BIROKRASI DALAM PILKADA

Persoalan netralitas birokrasi sejatinya sudah ada sejak lama. Ilmuwan politik dan administrasi negara seperti Guy Peters, Nicholas Henry, dan Francis Rourke hampir sepakat bahwa birokrasi harus aktif membuat keputusan politik. Netralisasi birokrasi dari politik sebagaimana pandangan Wilson, Goodnow dan White hampir tidak mungkin dilakukan, karena kekuasaan membuat keputusan yang dimiliki birokrasi merupakan aktivitas politik. Dari perspektif ini birokrasi pemerintah itu adalah highly politized.

o Dinamika Politisasi 

Dalam sejarah perkembangan  birokrasi di Indonesia sejak masa kemerdekaan juga terjadi pasang surut politisasi birokrasi. Dalam periode kemerdekaan 1945-1950, ada semacam kesepahaman bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Namun, demikian seiring dengan menguatnya primordialisme, birokrasi  lalu menjadi incaran partai politik. Keinginan untuk menguasai birokrasi tersebut pernah dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) lewat pemberontakannya yang gagal tahun 1948.
Dalam periode 1950-1959 kehidupan birokrasi sudah mulai tidak netral. Hal ini terlihat dari loyalitas ganda yang diperlihatkan birokrasi, kepada partai politik dan masyarakat yang dilayani. Di samping itu, birokrat juga sudah pandai ‘bermain mata’ dengan parpol yang ada. Seringkali dijumpai pegawai dimutasikan hanya gara-gara tidak separtai dengan pimpinanya. Sebaliknya, tak jarang dijumpai pembangkangan terhadap pimpinan yang tidak separtai dilakukan oleh aparat birokrasi. Patronikrasi, Jacksonisme dan katabelece mewarnai kehidupan birokrasi saat itu.
Dalam periode 1960-1965 birokrasi sudah mulai memihak dan atau terperangkap ke dalam jaring kekuatan politik Nasakom. Bukti dari kejadian itu dapat dilihat ketika terjadi tragedi nasional, aksi kudeta PKI yang gagal itu, dimana kekuatan PKI telah masuk ke hampir setiap departemen pemerintah. Sementara kekuatan agama dan nasionalis mendominasi kapling departemen masing-masing.
Dalam periode 1966-1998 birokrasi sangat memihak kepada partai hegemoni Golkar. Melalui Permen-12/ 1969 Mendagri Amir Machmud menekankan ‘monoloyalitas’ pegawai negeri dengan bergabung dalam Kokar-Mendagri (Cikal bakal Korpri) dan melarang berafiliasi dengan parpol yang merupakan bagian depolitisasi pegawai negri. Permen 12 itu kemudian diikuti dengan keluarnya Permen 6/ 1970 yang mengatur  bahwa semua pegawai negri (aparat birokrasi) harus setia kepada pemerintah dan harus memilih Golkar dalam pemilu. Dapat dikatakan, kemenangan Golkar dalam setiap Pemilu Orde baru, salah satu faktor yang menentukan adalah karena peranan birokrasi negara (baik Pusat maupun daerah). Birokrasi yang mempunyai kepanjangan otoritas sampai ke desa-desa telah dimanfaatkan oleh Golkar untuk meraih kemenangan dengan menerapkan konsepsi ‘floating mass”. Birokrasi pemerintah identik dengan Golkar, sehingga Golkar seringkali mendapat julukan ‘partainya pemerintah’, ‘partai birokrasi’ atau ‘partai plat merah’ dan tidak ada akses bagi  dua parpol lainnya dalam birokrasi, sehingga PPP dan PDI hanya berada di luar garis. Birokrasi menempati posisi sentral dan dominan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat dan negara, terutama dalam mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan kekuasaan maupun mekanisme partisipasi (mobilisasi ?) politik masyarakat. Birokrasi Orde Baru kemudian berkembang menjadi ‘gurita politik’ yang sulit diimbangi dan dikontrol oleh kekuatan-kekuatan politik lainnya di luar birokrasi (non-bureaucratic power).
Pada era reformasi, politisasi birokrasi khususnya dalam Pilpres maupun  Pilkada cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada ditangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang berkuasa. Ada indikasi bahwa partai-partai politik yang berkuasa cukup aktif untuk merebut dan meraup sumber-sumber dana APBD. Politisasi birokrasi yang terbentuk dalam kerangka oligarki ini jelas berbeda bentuk dan caranya dibanding periode Orde Baru yang cenderung berdasarkan pelembagaan (Pancasila sebagai asas tunggal, Golkar/Korpri, atau monoloyalitas). Dominasi birokrasi sebagaimana periode sebelumnya lalu digantikan perannya oleh lembaga legislatif. Dewan dalam periode ini berada dalam posisi yang sangat kuat (legislative heavy) karena sudah memposisikan diri sebagai lembaga pengambil keputusan dan penentu tindakan politik sebagai cerminan preferensi atau kehendak rakyat yang diwakili. Dalam pada itu, birokrasi dalam batas tertentu  memang sudah memiliki komitmen untuk menjaga netralitasnya terhadap kekuatan politik dan golongan yang dominan sehingga betul-betul bisa berperan secara objektif sebagai abdi negara dan masyarakat.

o Posisi Dilematis

Keterlibatan aparat birokrasi sebagai anggota/ kader parpol maupun tim sukses Cagub/ Cawagub agaknya akan membuat pisisi birokrasi yang memihak pasca Pilkada. Belajar dari pengalaman masa lalu, politisasi birokrasi ternyata menimbulkan berbagai persoalan. Pertama, pelayanan yang diberikan menjadi tidak adil karena ada kecenderungan mengutamakan golongan masyarakat yang memiliki kesamaan aliran politik, sifat pelayanan tidak objektif,  dan tidak mau dikontrol. Kedua, munculnya patronikrasi yakni budaya “gotong royong”, saling menolong yang membuahkan nepotisme. Pengrekrutan dan promosi pegawai tidak lagi mengikuti sistem merit dalam tradisi  Weberian, tetapi lebih menunjukkan sistem ‘bedol desa’ atau patronase yang didasarkan pada “kedekatan” dan kesamaan aliran politik. Oleh karena itu, pengrekutan, promosi dan jabatan birokrasi tidak semata-mata dilihat sebagai prosedur administrasi tetapi juga sebagai peluang dan investasi politik. Ketiga, profesionalisme dan integritas birokrasi yang idealnya memiliki akuntabilitas, responsibilitas, responsivitas, dan akseptabilitas yang jelas akan terpengaruh dengan adanya perbedaan aliran politik. Dalam konteks ini budaya politik yang cenderung mengajarkan pimpinan baru untuk menggunakan staf atau pejabat baru, sehingga menyingkirkan pejabat lama (yang dipandang tak loyal), sulit dihindari. Birokrasi juga bisa terpecah kedalam berbagai faksi berdasarkan orientasi pilihan politik. Secara formal, kondisi ini akan berakhir setelah pelantikan Gubernur/ Wakil Gubernur terpilih. Tetapi kenyataannya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperbaiki soliditas birokrasi sebagai imbas dari politisasi selama berlangsungnya Pilkada.

Integritas dan Etika Pelayanan Publik

Oleh Wayan Gede Suacana
Integritas dan etika dalam pelayanan publik berkaitan dengan komitmen kejujuran untuk melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Komitmen ini merupakan sistem ekstra yudisial dalam rangka mencegah terjadinya mal-administrasi di jajaran birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan administrasi, pengadaan barang/ jasa, dan pelayanan publik sendiri.
Satu diantara kendala paling serius untuk mewujudkan good governance adalah prilaku korup yang menggerogoti hampir setiap lembaga penyelenggara pemerintahan dalam pelayanan publik dari tingkat pusat hingga daerah. Prinsip-prinsip efisiensi, akuntabilitas dan keadilan distributif dalam pelayanan publik masih mengalami banyak hambatan. Sebaliknya gejala-gejala negatif atas terjadinya bad governance ditandai oleh rendahnya sensitivitas terhadap kebutuhan dasar atas kelompok masyarakat miskin, in-efisiensi birokrasi, rendahnya partisipasi publik, serta lemahnya upaya penegakkan hukum memperlihatkan kecenderungan umum yang sangat memprihatinkan.
• Peringkat Korupsi
Bad governance di Indonesia selalu disertai angka tingkat korupsi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika dirunut dari data PERC 2010, maka dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), menjadi 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dibanding dengan 16 negara Asia Pasifik lainnya. Transparency International juga meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indeks tersebut mengukur persepsi terhadap tingkat korupsi pada sektor publik dalam dan untuk mengambil potret sesaat persepsi korupsi di negara yang disurvei. Indeks pengukuran memiliki skala antara 0 (sangat korup) sampai dengan 10 (sangat bersih). Sebagian besar negara yang masuk dalam pengukuran ternyata mendapat skor di bawah 5. Skor IPK Indonesia yang pada 1999 sebesar 1.7 hanya sedikit meningkat menjadi 2.8 pada 2009. (www.tiri.or.id).
Meskipun data yang disampaikan Transparency Internasional menunjukkan adanya sedikit peningkatan persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun sesungguhnya hal ini lebih ditopang oleh lembaga KPK. Lembaga-lembaga terkorup justru berasal dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan DPR. Merujuk hal ini, maka dapat dijelaskan bahwa meskipun terjadi peningkatan persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun secara regional pemberantasan korupsi Indonesia berjalan mandeg dibanding negara-negara tetangga. Salah satu permasalahan utama adalah reformasi birokrasi dan administrasi publik yang masih berjalan di tempat.
Upaya perubahan (reformasi) birokrasi dan administrasi publik yang telah dilakukan selama ini ternyata belum mampu meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Pelayanan publik masih belum memuaskan masyarakat karena prosedur yang berbelit-belit, tidak efisien, dan korup. Belum terwujudnya pelayanan publik yang cepat dan efisien (agile process) merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kondisi yang tidak kondusif bagi parisipasi masyarakat dalam mewujudkn good governance.
• Menegakkan Integritas dan Etika
Dalam kenyataannya fenomena korupsi di Indonesia sebagai cerminan bad governance merupakan permukaan dari sebuah sistem besar yang berakar pada nilai integritas, baik di tingkat individu, institusi, maupun sistemik. Sebagai sebuah nilai, etika cenderung diabaikan oleh setiap individu dan institusi, sehingga praktik-praktik sosial, politik, dan pemerintahan tidak memiliki cukup daya tahan untuk mengurangi tindakan korup, bahkan cenderung ‘menerima’ korupsi sebagai fenomena yang sudah wajar terjadi.
Sebagai nilai yang acap kali dimaknai sebagai profesionalisme, satunya kata dan perbuatan, bertindak baik tanpa harus diawasi, adil dan bertanggungjawab, integritas sangat penting dalam menjalankan tugas tidak terkecuali dalam pelayanan publik. Nilai ini seharusnya dibangun secara sistemik, sehingga setiap pemangku kepentingan (stakeholder) pada berbagai jenjang pemerintahan memiliki sensitivitas tinggi menjadikan integritas sebagai landasan setiap keputusan.
Penegakkan integritas dan etika bisa membuka peluang bagi peningkatan IPK dan menurunkan peringkat korupsi Indonesia bila memenuhi setidaknya tiga hal. Pertama, secara sistemik dengan adanya pembenahan dan pemberdayaan suprastruktur maupun infrastruktur lembaga, serta penguatan kapasitas sumberdaya aparat. Kedua, secara abolisionistik dengan adanya peningkatan kesadaran hukum, partisipasi masyarakat dan penegakkan hukum. Dalam kaitan ini survei integritas yang telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat-pejabat tinggi negara Republik Indonesia patut didukung. Dalam survei integritas tersebut setiap pejabat publik akan dipantau dan dinilai diantaranya berdasarkan penyerahan laporan kekayaannya, kemungkinan menerima suap, dan dugaan penyelewengan lainnya. Ketiga, cara moralistik dengan menegakkan sistem integritas terutama di sektor publik dengan memegang teguh prinsip dan sikap pejabat untuk tidak melakukan korupsi dan tindakan-tindakan mal-administratif lainnya. Pejabat yang berintegritas menggunakan kekuasaan dan kewenangannya hanya untuk tujuan yang sah menurut hukum.
• Meningkatkan Pelayanan Publik
Penegakkan integritas dan etika itu akan bisa meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan beberapa persyaratan.
Pertama, mengubah sistem penerimaan dan seleksi pegawai yang sebelumnya didasarkan pada “patronage system”, “spoil system” dan “nepotism” (kebanyakan jabatan diisi berdasarkan political patronage), dengan “merit system” atau “carier system” (pegawai yang diterima adalah mereka yang memiliki kemampuan dan prestasi). Rekrutmen dan seleksi mesti diadakan secara terbuka dan melalui tes seleksi calon pegawai negeri secara obyektif. Prioritas penerimaan calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari kalangan pegawai honorer yang sudah ada harus dihentikan, penerimaan PNS harus terbuka luas bagi semua orang yang memenuhi persyaratan sehingga terjamin peningkatan mutu, kreativitas, inisiatif dan efisiensi dalam sistem administrasi negara. Kedua, pejabat negara juga harus dibuat lebih profesional. Pejabat profesional selalu percaya diri (self confident) karena kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang selalu memihak pada kepentingan rakyat. Profesionalisme meliputi akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas dalam pelayanan publik. Akhirnya, masyarakat juga perlu diberdayakan dan dilibatkan sesuai paradigma good governance melalui pembangunan infrastruktur politik yang dimaksudkan guna meningkatkan “bargainning position” mereka termasuk agar mampu melaksanakan perannya sebagai kontrol sosial terhadap tindakan-tindakan pejabat negara. Parpol, LSM, mahasiswa, pers dan masyarakat umum hendaknya tetap berkesempatan menyuarakan “pesan moral” dan “budaya malu” terhadap tindakan pejabat negara yang tercela.
Penulis, pengajar ilmu pemerintahan,
anggota PIEN-CRC Center
Universitas Warmadewa