Senin, 13 Februari 2012

Desentralisasi Korupsi di era Otonomi

DESENTRALISASI KORUPSI MENGIRINGI OTONOMI DAERAH?
Oleh:
Drs. I Wayan Sudana, M.Si


Pada umumnya harapan masyarakat menghendaki adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan, partisipasi yang lebih luas dalam bidang politik dan ekonomi dalam sebuah negara. Namun, melihat peran negara yang dominan dan dikelola secara sentralistik dan otoriter, gagasan tentang desentralisasi kemudian menjadi energi baru bagi masyarakat untuk mendobrak hegemoni negara. Dukungan yang luas terhadap gelombang desentralisasi memunculkan pertanyaan bagaimana kapasitas institusi lokal dalam merespon perubahan tersebut?. Kapasitas ini terkait dengan ranah pengembangan demokrasi, pelayanan publik, ekonomi dan lain sebagainya.
Memasuki tahun 1999, politik Indonesia sedang menjalani proses perubahan yang sangat dramatis menyusul turunnya Soeharto dari posisi kepresidenan pada bulan Mei 1998. Sentralisasi pengelolaan ekonomi dan politik yang menjadi karakter utama sistem politik Orde Baru telah menjadi sasaran kemarahan masyarakat daerah di seluruh Indonesia. Hal ini mengakibatkan ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Ketegangan hubungan tersebut ditandai dengan beberapa tuntutan: pertama, kebangkitan identitas kedaerahan yang seringkali didasarkan pada solidaritas etnis yang menjadi institusi sosial dan ideologis untuk berhadapan dengan pemerintah pusat. Hal ini terjadi di sejumlah daerah yang sensitif secara politk dan signifikan secara ekonomi terutama, Aceh, Irian Jaya, Riau, dan Kalimantan Timur. Kedua, meluasnya tuntutan daerah untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas, bahkan muncul dalam tuntutan perubahan format pengaturan politik dari negara kesatuan ke bentuk negara federal. Ketiga, mengerasnya diskursus publik mengenai keharusan bagi desentralisasi, dan bahkan federalisme, sebagai solusi terbaik bagi kelangsungan negara kesatuan.
  1. Tuntutan yang mengeras ditengah merosotnya kapasitas negara memaksa pemerintah melakukan langkah-langkah politik penting untuk mengakomodasinya dengan dikeluarkannya Kebijakan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Terlepas dari sejumlah kritik, UU tersebut secara prinsip melakukan perubahan mendasar, terutama karena ia memangkas kekuasaan pusat dan sebaliknya memberi ruang politik yang sangat besar bagi daerah untuk mengatur diri. UU ini menggeser locus politik dari Jakarta ke daerah-daerah, terutama ke kabupaten/kotamadya. Pemberlakuan penerapan penyelenggaran pemerintahan daerah yang bersifat otonom sebagai konsekwensi dari pelaksanaan asaz desentralisasi akan mungkin dicapai apabila adanya beberapa aspek pendukung sebagai elemen pemerintahan daerah yakni: 1) penataan urusan pemerintahan; 2) penataan kelembagaan daerah; 3) penataan personil; 4) penataan keuangan daerah; 5) penataan perwakilan; 6) penataan pelayanan publik; 7) penataan pengawasan.. Akan tetapi, kondisi  yang terjadi saat ini dalam perjalanan pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke daerah yakni;  29 urusan yang didesentralisasikan kedaerah terjadi tumpang tindih antar tingkatan pemerintahan dalam pelaksanaan urusan tersebut karena belum sinkronnya antara UU Otda dengan UU Sektor. Disamping  itu terjadi tarik menarik urusan, khususnya urusan yang mempunyai potensi pendapatan (revenue). Serta adanya gejala keengganan dari Departemen/LPND untuk mendesentralisasikan urusan secara penuh karena kekhawatiran daerah belum mampu melaksanakan urusan tsb secara optimal akibat dari tidak jelasnya mekanisme supervisi dan fasilitasi oleh Departemen/LPND terhadap daerah karena ketidak jelasan mekanisme kordinasi antara Depdagri sebagai pembina umum dengan Departemen/LPND sebagai pembina tehnis
diiringi adanya desentralisasi korupsi. Di samping itu, pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada daerah punya konsekwensi serius yang belum banyak mendapat perhatian yaitu: Pertama, bisa berakibat bangkitnya kembali aristokrasi atau feodalisme lokal dengan segala akibatnya bila tidak disertai dengan arena demokasi lokal yang kuat .Hal ini masih bisa ditemukan dalam interaksi sosial di masyarakat lokal (Riswandha Imawan). Kedua, pengalihan kekuasaan kepada daerah-daerah yang masih ditandai oleh bekerjanya struktur politik yang bersifat otoritarian, akan berakibat pada pengalihan otoritarianisme negara dari Jakarta ke daerah-daerah (Cornelis Lay). Ketiga, keterbatasan pengalaman daerah dalam mengelola birokrasi pelayanan, keterbatasan sarana dan prasarana akan beresiko terjadinya inefisiensi dan inefektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
Terkait dengan beberapa konsekwensi pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada daerah di atas, tulisan ini tidak mengikuti logika yang dikembangkan oleh UU pemeintahan daerah No. 22/1999 tersebut. Namun, dalam paparannya lebih berorientasi pada tataran untuk melihat kasus-kasus korupsi di daerah sebagai desentralisasi korupsi.
Desentralisasi Korupsi

UU No. 22/1999 menyebutkan “Desentralisasi” adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI. Sedangkan “Otonomi Daerah” adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya UU No. 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. “korupsi” berarti perbuatan setiap orang baik pemerintah maupun swasta yang secara melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberian otonomi kepada daerah-daerah adalah sebagai konsekwensi penyelenggaraan asas desentralisasi. Namun, dalam otonomi daerah tidak hanya kekuasaan yang terdesentralisasi akan tetapi juga di iringi oleh korupsi.
Maraknya kasus-kasus korupsi di daerah yang diberitakan lewat media massa, beberapa bulan terakhir di tahun 2003, sebagai suguhan menarik sekaligus memprihatinkan terhadap perilaku para aparatur pemerintah.di berbagai daerah seperti: “Korupsi mempersatukan DPRD” (Jawa Pos, 13-3-2003). “Wakil Rakyat Suka Uang Rakyat” (Kompas, 9-3-2003). “DPRD Yogyakarta membagi dana Rp. 700 juta untuk 40 anggotanya atau Rp. 17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan keskretariatan” (Kompas, 4-9-2002). ”Terkait kasus penyimpangan APBD di Bali” (Bali Post, 13-1- 2005). Kasus “Abdulah Puteh” Gubernur Non Aktif  Nangroe Aceh Darusalam, terdakwa korupsi pembelian Helikopter senilai Rp. 12,5 miliar” (Nusra, 23-1-2005). Gambaran dari fenomena di atas, mempertegas asumsi awal otonomi daerah, bahwa akan terjadi penyebaran dan perpindahan tingkat korupsi dari pusat ke daerah-daerah. Ini menunjuukan penyebaran korupsi di daerah sudah pada tahap yang sangat serius. Kasus korupsi anggaran yang terjadi di DPRD di daerah-daerah hampir di seluruh Indonesia menunjukkan freelance corruption. Di mana di tengah keterbatasan dana pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Walaupun hanya diungkapkan beberapa kasus, namun merupakan gejala umum yang terjadi juga di daerah lain. Karena itu, dalam otonomi daerah korupsi telah terdesentralisasi seirng dengan desentralisasi kekuasaan. Hal ini bila tidak segera ditangani, boleh jadi muncul kekecewaan terhadap program otonomi daerah sehingga kekuatiran akan muncul resentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat.

Mencegah Korupsi di Daerah

Salah satu penyebab penyebaran korupsi secara mendasar di daerah karena kekuasaan yang demikian besar pada elite lokal. Untuk mencegah korupsi di daerah adalah dengan membatasi kekuasaan pemerintah daerah dan khususnya DPRD. Sistim demokrasi perwakilan telah memberikan kekuasaan yang besar kepada wakil rakyat untuk public trust seperti sekarang ini. Karenanya sistem demokrasi langsung sekarang ini relevan dikedepankan, khususnya terhadap beberapa hak demokrasi yang fundamental seperti memilih kepala daerah, melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara di tingkat daerah yang selama ini menjadi ajang politik dagang sapi, money politik, kompromi-kompromi politik, dan lain sebagainya
Disamping itu, yang diperlukan dalam pencegahan korupsi adalah sebuah reform terutama oleh wajah-wajah baru untuk tampil dalam melakukan perubahan yang secara materiil tidak memiliki halangan apapun, terutama menyangkut struktur politik dan ekonomi. Sebab tanpa perubahan seperti telah kita saksikan, partisipasi masyarakat dalam membasmi korupsi dan sejumlah agenda reformasi nampak tidak banyak artinya. Melihat realita yang berkembang partisipasi masyarakat ini, dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah, setidaknya perlu upaya penguatan masyarakat dalam kemampuan mengontrol proses politik dan administrasi di daerah, terutama dalam pemilihan kepala daerah, penyusunan APBD serta pelayanan publik di daerah.


0 komentar:

Posting Komentar