DESENTRALISASI KORUPSI MENGIRINGI OTONOMI DAERAH?
Oleh:
Drs. I Wayan Sudana, M.Si
Pada umumnya harapan masyarakat menghendaki adanya peningkatan
kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan, partisipasi yang
lebih luas dalam bidang politik dan ekonomi dalam sebuah negara. Namun,
melihat peran negara yang dominan dan dikelola secara sentralistik dan
otoriter, gagasan tentang desentralisasi kemudian menjadi energi baru
bagi masyarakat untuk mendobrak hegemoni negara. Dukungan yang luas
terhadap gelombang desentralisasi memunculkan pertanyaan bagaimana
kapasitas institusi lokal dalam merespon perubahan tersebut?. Kapasitas
ini terkait dengan ranah pengembangan demokrasi, pelayanan publik,
ekonomi dan lain sebagainya.
Memasuki tahun 1999, politik Indonesia sedang menjalani proses
perubahan yang sangat dramatis menyusul turunnya Soeharto dari posisi
kepresidenan pada bulan Mei 1998. Sentralisasi pengelolaan ekonomi dan
politik yang menjadi karakter utama sistem politik Orde Baru telah
menjadi sasaran kemarahan masyarakat daerah di seluruh Indonesia. Hal
ini mengakibatkan ketegangan hubungan antara pusat dan daerah.
Ketegangan hubungan tersebut ditandai dengan beberapa tuntutan: pertama,
kebangkitan identitas kedaerahan yang seringkali didasarkan pada
solidaritas etnis yang menjadi institusi sosial dan ideologis untuk
berhadapan dengan pemerintah pusat. Hal ini terjadi di sejumlah daerah
yang sensitif secara politk dan signifikan secara ekonomi terutama,
Aceh, Irian Jaya, Riau, dan Kalimantan Timur. Kedua, meluasnya
tuntutan daerah untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas, bahkan muncul
dalam tuntutan perubahan format pengaturan politik dari negara kesatuan
ke bentuk negara federal. Ketiga, mengerasnya diskursus publik
mengenai keharusan bagi desentralisasi, dan bahkan federalisme, sebagai
solusi terbaik bagi kelangsungan negara kesatuan.
- Tuntutan yang mengeras ditengah merosotnya kapasitas negara memaksa pemerintah melakukan langkah-langkah politik penting untuk mengakomodasinya dengan dikeluarkannya Kebijakan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Terlepas dari sejumlah kritik, UU tersebut secara prinsip melakukan perubahan mendasar, terutama karena ia memangkas kekuasaan pusat dan sebaliknya memberi ruang politik yang sangat besar bagi daerah untuk mengatur diri. UU ini menggeser locus politik dari Jakarta ke daerah-daerah, terutama ke kabupaten/kotamadya. Pemberlakuan penerapan penyelenggaran pemerintahan daerah yang bersifat otonom sebagai konsekwensi dari pelaksanaan asaz desentralisasi akan mungkin dicapai apabila adanya beberapa aspek pendukung sebagai elemen pemerintahan daerah yakni: 1) penataan urusan pemerintahan; 2) penataan kelembagaan daerah; 3) penataan personil; 4) penataan keuangan daerah; 5) penataan perwakilan; 6) penataan pelayanan publik; 7) penataan pengawasan.. Akan tetapi, kondisi yang terjadi saat ini dalam perjalanan pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke daerah yakni; 29 urusan yang didesentralisasikan kedaerah terjadi tumpang tindih antar tingkatan pemerintahan dalam pelaksanaan urusan tersebut karena belum sinkronnya antara UU Otda dengan UU Sektor. Disamping itu terjadi tarik menarik urusan, khususnya urusan yang mempunyai potensi pendapatan (revenue). Serta adanya gejala keengganan dari Departemen/LPND untuk mendesentralisasikan urusan secara penuh karena kekhawatiran daerah belum mampu melaksanakan urusan tsb secara optimal akibat dari tidak jelasnya mekanisme supervisi dan fasilitasi oleh Departemen/LPND terhadap daerah karena ketidak jelasan mekanisme kordinasi antara Depdagri sebagai pembina umum dengan Departemen/LPND sebagai pembina tehnis
diiringi adanya desentralisasi korupsi. Di samping itu, pelimpahan
kekuasaan oleh pusat kepada daerah punya konsekwensi serius yang belum
banyak mendapat perhatian yaitu: Pertama, bisa berakibat
bangkitnya kembali aristokrasi atau feodalisme lokal dengan segala
akibatnya bila tidak disertai dengan arena demokasi lokal yang kuat .Hal
ini masih bisa ditemukan dalam interaksi sosial di masyarakat lokal
(Riswandha Imawan). Kedua, pengalihan kekuasaan kepada
daerah-daerah yang masih ditandai oleh bekerjanya struktur politik yang
bersifat otoritarian, akan berakibat pada pengalihan otoritarianisme
negara dari Jakarta ke daerah-daerah (Cornelis Lay). Ketiga,
keterbatasan pengalaman daerah dalam mengelola birokrasi pelayanan,
keterbatasan sarana dan prasarana akan beresiko terjadinya inefisiensi
dan inefektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
publik.
Terkait dengan beberapa konsekwensi pelimpahan kekuasaan oleh pusat
kepada daerah di atas, tulisan ini tidak mengikuti logika yang
dikembangkan oleh UU pemeintahan daerah No. 22/1999 tersebut. Namun,
dalam paparannya lebih berorientasi pada tataran untuk melihat
kasus-kasus korupsi di daerah sebagai desentralisasi korupsi.
Desentralisasi Korupsi
UU No. 22/1999 menyebutkan “Desentralisasi” adalah penyerahan
wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada Daerah Otonom dalam
kerangka NKRI. Sedangkan “Otonomi Daerah” adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya UU No. 20/2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. “korupsi” berarti perbuatan setiap
orang baik pemerintah maupun swasta yang secara melanggar hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa pemberian otonomi kepada daerah-daerah adalah sebagai
konsekwensi penyelenggaraan asas desentralisasi. Namun, dalam otonomi
daerah tidak hanya kekuasaan yang terdesentralisasi akan tetapi juga di
iringi oleh korupsi.
Maraknya kasus-kasus korupsi di daerah yang diberitakan lewat media
massa, beberapa bulan terakhir di tahun 2003, sebagai suguhan menarik
sekaligus memprihatinkan terhadap perilaku para aparatur pemerintah.di
berbagai daerah seperti: “Korupsi mempersatukan DPRD” (Jawa Pos,
13-3-2003). “Wakil Rakyat Suka Uang Rakyat” (Kompas, 9-3-2003). “DPRD
Yogyakarta membagi dana Rp. 700 juta untuk 40 anggotanya atau Rp. 17,5
juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan
keskretariatan” (Kompas, 4-9-2002). ”Terkait kasus penyimpangan APBD di
Bali” (Bali Post, 13-1- 2005). Kasus “Abdulah Puteh” Gubernur Non Aktif
Nangroe Aceh Darusalam, terdakwa korupsi pembelian Helikopter senilai
Rp. 12,5 miliar” (Nusra, 23-1-2005). Gambaran dari fenomena di atas,
mempertegas asumsi awal otonomi daerah, bahwa akan terjadi penyebaran
dan perpindahan tingkat korupsi dari pusat ke daerah-daerah. Ini
menunjuukan penyebaran korupsi di daerah sudah pada tahap yang sangat
serius. Kasus korupsi anggaran yang terjadi di DPRD di daerah-daerah
hampir di seluruh Indonesia menunjukkan freelance corruption.
Di mana di tengah keterbatasan dana pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Walaupun hanya diungkapkan beberapa kasus,
namun merupakan gejala umum yang terjadi juga di daerah lain. Karena
itu, dalam otonomi daerah korupsi telah terdesentralisasi seirng dengan
desentralisasi kekuasaan. Hal ini bila tidak segera
ditangani, boleh jadi muncul kekecewaan terhadap program otonomi daerah
sehingga kekuatiran akan muncul resentralisasi kekuasaan oleh pemerintah
pusat.
Mencegah Korupsi di Daerah
Salah satu penyebab penyebaran korupsi secara mendasar di daerah
karena kekuasaan yang demikian besar pada elite lokal. Untuk mencegah
korupsi di daerah adalah dengan membatasi kekuasaan pemerintah daerah
dan khususnya DPRD. Sistim demokrasi perwakilan telah memberikan
kekuasaan yang besar kepada wakil rakyat untuk public trust
seperti sekarang ini. Karenanya sistem demokrasi langsung sekarang ini
relevan dikedepankan, khususnya terhadap beberapa hak demokrasi yang
fundamental seperti memilih kepala daerah, melakukan kontrol terhadap
penyelenggaraan negara di tingkat daerah yang selama ini menjadi ajang
politik dagang sapi, money politik, kompromi-kompromi politik, dan lain
sebagainya
Disamping itu, yang diperlukan dalam pencegahan korupsi adalah sebuah reform
terutama oleh wajah-wajah baru untuk tampil dalam melakukan perubahan
yang secara materiil tidak memiliki halangan apapun, terutama menyangkut
struktur politik dan ekonomi. Sebab tanpa perubahan seperti telah kita
saksikan, partisipasi masyarakat dalam membasmi korupsi dan sejumlah
agenda reformasi nampak tidak banyak artinya. Melihat realita yang
berkembang partisipasi masyarakat ini, dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat di daerah, setidaknya perlu upaya penguatan
masyarakat dalam kemampuan mengontrol proses politik dan administrasi di
daerah, terutama dalam pemilihan kepala daerah, penyusunan APBD serta
pelayanan publik di daerah.
0 komentar:
Posting Komentar