Persoalan netralitas birokrasi sejatinya sudah ada sejak lama.
Ilmuwan politik dan administrasi negara seperti Guy Peters, Nicholas
Henry, dan Francis Rourke hampir sepakat bahwa birokrasi harus aktif
membuat keputusan politik. Netralisasi birokrasi dari politik
sebagaimana pandangan Wilson, Goodnow dan White hampir tidak mungkin
dilakukan, karena kekuasaan membuat keputusan yang dimiliki birokrasi
merupakan aktivitas politik. Dari perspektif ini birokrasi pemerintah
itu adalah highly politized.
o Dinamika Politisasi
Dalam sejarah perkembangan birokrasi di Indonesia sejak masa
kemerdekaan juga terjadi pasang surut politisasi birokrasi. Dalam
periode kemerdekaan 1945-1950, ada semacam kesepahaman bahwa birokrasi
merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Namun,
demikian seiring dengan menguatnya primordialisme, birokrasi lalu
menjadi incaran partai politik. Keinginan untuk menguasai birokrasi
tersebut pernah dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) lewat
pemberontakannya yang gagal tahun 1948.
Dalam periode 1950-1959 kehidupan birokrasi sudah mulai tidak netral.
Hal ini terlihat dari loyalitas ganda yang diperlihatkan birokrasi,
kepada partai politik dan masyarakat yang dilayani. Di samping itu,
birokrat juga sudah pandai ‘bermain mata’ dengan parpol yang ada.
Seringkali dijumpai pegawai dimutasikan hanya gara-gara tidak separtai
dengan pimpinanya. Sebaliknya, tak jarang dijumpai pembangkangan
terhadap pimpinan yang tidak separtai dilakukan oleh aparat birokrasi.
Patronikrasi, Jacksonisme dan katabelece mewarnai kehidupan birokrasi
saat itu.
Dalam periode 1960-1965 birokrasi sudah mulai memihak dan atau
terperangkap ke dalam jaring kekuatan politik Nasakom. Bukti dari
kejadian itu dapat dilihat ketika terjadi tragedi nasional, aksi kudeta
PKI yang gagal itu, dimana kekuatan PKI telah masuk ke hampir setiap
departemen pemerintah. Sementara kekuatan agama dan nasionalis
mendominasi kapling departemen masing-masing.
Dalam periode 1966-1998 birokrasi sangat memihak kepada partai
hegemoni Golkar. Melalui Permen-12/ 1969 Mendagri Amir Machmud
menekankan ‘monoloyalitas’ pegawai negeri dengan bergabung dalam
Kokar-Mendagri (Cikal bakal Korpri) dan melarang berafiliasi dengan
parpol yang merupakan bagian depolitisasi pegawai negri. Permen 12 itu
kemudian diikuti dengan keluarnya Permen 6/ 1970 yang mengatur bahwa
semua pegawai negri (aparat birokrasi) harus setia kepada pemerintah dan
harus memilih Golkar dalam pemilu. Dapat dikatakan, kemenangan Golkar
dalam setiap Pemilu Orde baru, salah satu faktor yang menentukan adalah
karena peranan birokrasi negara (baik Pusat maupun daerah). Birokrasi
yang mempunyai kepanjangan otoritas sampai ke desa-desa telah
dimanfaatkan oleh Golkar untuk meraih kemenangan dengan menerapkan
konsepsi ‘floating mass”. Birokrasi pemerintah identik dengan Golkar,
sehingga Golkar seringkali mendapat julukan ‘partainya pemerintah’,
‘partai birokrasi’ atau ‘partai plat merah’ dan tidak ada akses bagi
dua parpol lainnya dalam birokrasi, sehingga PPP dan PDI hanya berada di
luar garis. Birokrasi menempati posisi sentral dan dominan dalam
berbagai segi kehidupan masyarakat dan negara, terutama dalam mekanisme
pengambilan keputusan dan penyelenggaraan kekuasaan maupun mekanisme
partisipasi (mobilisasi ?) politik masyarakat. Birokrasi Orde Baru
kemudian berkembang menjadi ‘gurita politik’ yang sulit diimbangi dan
dikontrol oleh kekuatan-kekuatan politik lainnya di luar birokrasi (non-bureaucratic power).
Pada era reformasi, politisasi birokrasi khususnya dalam Pilpres
maupun Pilkada cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada
ditangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang
berkuasa. Ada indikasi bahwa partai-partai politik yang berkuasa cukup
aktif untuk merebut dan meraup sumber-sumber dana APBD. Politisasi
birokrasi yang terbentuk dalam kerangka oligarki ini jelas berbeda
bentuk dan caranya dibanding periode Orde Baru yang cenderung
berdasarkan pelembagaan (Pancasila sebagai asas tunggal, Golkar/Korpri,
atau monoloyalitas). Dominasi birokrasi sebagaimana periode sebelumnya
lalu digantikan perannya oleh lembaga legislatif. Dewan dalam periode
ini berada dalam posisi yang sangat kuat (legislative heavy)
karena sudah memposisikan diri sebagai lembaga pengambil keputusan dan
penentu tindakan politik sebagai cerminan preferensi atau kehendak
rakyat yang diwakili. Dalam pada itu, birokrasi dalam batas tertentu
memang sudah memiliki komitmen untuk menjaga netralitasnya terhadap
kekuatan politik dan golongan yang dominan sehingga betul-betul bisa
berperan secara objektif sebagai abdi negara dan masyarakat.
o Posisi Dilematis
Keterlibatan aparat birokrasi sebagai anggota/ kader parpol maupun
tim sukses Cagub/ Cawagub agaknya akan membuat pisisi birokrasi yang
memihak pasca Pilkada. Belajar dari pengalaman masa lalu, politisasi
birokrasi ternyata menimbulkan berbagai persoalan. Pertama,
pelayanan yang diberikan menjadi tidak adil karena ada kecenderungan
mengutamakan golongan masyarakat yang memiliki kesamaan aliran politik,
sifat pelayanan tidak objektif, dan tidak mau dikontrol. Kedua,
munculnya patronikrasi yakni budaya “gotong royong”, saling menolong
yang membuahkan nepotisme. Pengrekrutan dan promosi pegawai tidak lagi
mengikuti sistem merit dalam tradisi Weberian, tetapi lebih menunjukkan
sistem ‘bedol desa’ atau patronase yang didasarkan pada “kedekatan” dan
kesamaan aliran politik. Oleh karena itu, pengrekutan, promosi dan
jabatan birokrasi tidak semata-mata dilihat sebagai prosedur
administrasi tetapi juga sebagai peluang dan investasi politik. Ketiga,
profesionalisme dan integritas birokrasi yang idealnya memiliki
akuntabilitas, responsibilitas, responsivitas, dan akseptabilitas yang
jelas akan terpengaruh dengan adanya perbedaan aliran politik. Dalam
konteks ini budaya politik yang cenderung mengajarkan pimpinan baru
untuk menggunakan staf atau pejabat baru, sehingga menyingkirkan pejabat
lama (yang dipandang tak loyal), sulit dihindari. Birokrasi juga bisa
terpecah kedalam berbagai faksi berdasarkan orientasi pilihan politik.
Secara formal, kondisi ini akan berakhir setelah pelantikan Gubernur/
Wakil Gubernur terpilih. Tetapi kenyataannya dibutuhkan waktu yang cukup
lama untuk memperbaiki soliditas birokrasi sebagai imbas dari
politisasi selama berlangsungnya Pilkada.
0 komentar:
Posting Komentar