Senin, 13 Februari 2012

Integritas dan Etika Pelayanan Publik

Oleh Wayan Gede Suacana
Integritas dan etika dalam pelayanan publik berkaitan dengan komitmen kejujuran untuk melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Komitmen ini merupakan sistem ekstra yudisial dalam rangka mencegah terjadinya mal-administrasi di jajaran birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan administrasi, pengadaan barang/ jasa, dan pelayanan publik sendiri.
Satu diantara kendala paling serius untuk mewujudkan good governance adalah prilaku korup yang menggerogoti hampir setiap lembaga penyelenggara pemerintahan dalam pelayanan publik dari tingkat pusat hingga daerah. Prinsip-prinsip efisiensi, akuntabilitas dan keadilan distributif dalam pelayanan publik masih mengalami banyak hambatan. Sebaliknya gejala-gejala negatif atas terjadinya bad governance ditandai oleh rendahnya sensitivitas terhadap kebutuhan dasar atas kelompok masyarakat miskin, in-efisiensi birokrasi, rendahnya partisipasi publik, serta lemahnya upaya penegakkan hukum memperlihatkan kecenderungan umum yang sangat memprihatinkan.
• Peringkat Korupsi
Bad governance di Indonesia selalu disertai angka tingkat korupsi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika dirunut dari data PERC 2010, maka dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), menjadi 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dibanding dengan 16 negara Asia Pasifik lainnya. Transparency International juga meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indeks tersebut mengukur persepsi terhadap tingkat korupsi pada sektor publik dalam dan untuk mengambil potret sesaat persepsi korupsi di negara yang disurvei. Indeks pengukuran memiliki skala antara 0 (sangat korup) sampai dengan 10 (sangat bersih). Sebagian besar negara yang masuk dalam pengukuran ternyata mendapat skor di bawah 5. Skor IPK Indonesia yang pada 1999 sebesar 1.7 hanya sedikit meningkat menjadi 2.8 pada 2009. (www.tiri.or.id).
Meskipun data yang disampaikan Transparency Internasional menunjukkan adanya sedikit peningkatan persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun sesungguhnya hal ini lebih ditopang oleh lembaga KPK. Lembaga-lembaga terkorup justru berasal dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan DPR. Merujuk hal ini, maka dapat dijelaskan bahwa meskipun terjadi peningkatan persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun secara regional pemberantasan korupsi Indonesia berjalan mandeg dibanding negara-negara tetangga. Salah satu permasalahan utama adalah reformasi birokrasi dan administrasi publik yang masih berjalan di tempat.
Upaya perubahan (reformasi) birokrasi dan administrasi publik yang telah dilakukan selama ini ternyata belum mampu meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Pelayanan publik masih belum memuaskan masyarakat karena prosedur yang berbelit-belit, tidak efisien, dan korup. Belum terwujudnya pelayanan publik yang cepat dan efisien (agile process) merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kondisi yang tidak kondusif bagi parisipasi masyarakat dalam mewujudkn good governance.
• Menegakkan Integritas dan Etika
Dalam kenyataannya fenomena korupsi di Indonesia sebagai cerminan bad governance merupakan permukaan dari sebuah sistem besar yang berakar pada nilai integritas, baik di tingkat individu, institusi, maupun sistemik. Sebagai sebuah nilai, etika cenderung diabaikan oleh setiap individu dan institusi, sehingga praktik-praktik sosial, politik, dan pemerintahan tidak memiliki cukup daya tahan untuk mengurangi tindakan korup, bahkan cenderung ‘menerima’ korupsi sebagai fenomena yang sudah wajar terjadi.
Sebagai nilai yang acap kali dimaknai sebagai profesionalisme, satunya kata dan perbuatan, bertindak baik tanpa harus diawasi, adil dan bertanggungjawab, integritas sangat penting dalam menjalankan tugas tidak terkecuali dalam pelayanan publik. Nilai ini seharusnya dibangun secara sistemik, sehingga setiap pemangku kepentingan (stakeholder) pada berbagai jenjang pemerintahan memiliki sensitivitas tinggi menjadikan integritas sebagai landasan setiap keputusan.
Penegakkan integritas dan etika bisa membuka peluang bagi peningkatan IPK dan menurunkan peringkat korupsi Indonesia bila memenuhi setidaknya tiga hal. Pertama, secara sistemik dengan adanya pembenahan dan pemberdayaan suprastruktur maupun infrastruktur lembaga, serta penguatan kapasitas sumberdaya aparat. Kedua, secara abolisionistik dengan adanya peningkatan kesadaran hukum, partisipasi masyarakat dan penegakkan hukum. Dalam kaitan ini survei integritas yang telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat-pejabat tinggi negara Republik Indonesia patut didukung. Dalam survei integritas tersebut setiap pejabat publik akan dipantau dan dinilai diantaranya berdasarkan penyerahan laporan kekayaannya, kemungkinan menerima suap, dan dugaan penyelewengan lainnya. Ketiga, cara moralistik dengan menegakkan sistem integritas terutama di sektor publik dengan memegang teguh prinsip dan sikap pejabat untuk tidak melakukan korupsi dan tindakan-tindakan mal-administratif lainnya. Pejabat yang berintegritas menggunakan kekuasaan dan kewenangannya hanya untuk tujuan yang sah menurut hukum.
• Meningkatkan Pelayanan Publik
Penegakkan integritas dan etika itu akan bisa meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan beberapa persyaratan.
Pertama, mengubah sistem penerimaan dan seleksi pegawai yang sebelumnya didasarkan pada “patronage system”, “spoil system” dan “nepotism” (kebanyakan jabatan diisi berdasarkan political patronage), dengan “merit system” atau “carier system” (pegawai yang diterima adalah mereka yang memiliki kemampuan dan prestasi). Rekrutmen dan seleksi mesti diadakan secara terbuka dan melalui tes seleksi calon pegawai negeri secara obyektif. Prioritas penerimaan calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari kalangan pegawai honorer yang sudah ada harus dihentikan, penerimaan PNS harus terbuka luas bagi semua orang yang memenuhi persyaratan sehingga terjamin peningkatan mutu, kreativitas, inisiatif dan efisiensi dalam sistem administrasi negara. Kedua, pejabat negara juga harus dibuat lebih profesional. Pejabat profesional selalu percaya diri (self confident) karena kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang selalu memihak pada kepentingan rakyat. Profesionalisme meliputi akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas dalam pelayanan publik. Akhirnya, masyarakat juga perlu diberdayakan dan dilibatkan sesuai paradigma good governance melalui pembangunan infrastruktur politik yang dimaksudkan guna meningkatkan “bargainning position” mereka termasuk agar mampu melaksanakan perannya sebagai kontrol sosial terhadap tindakan-tindakan pejabat negara. Parpol, LSM, mahasiswa, pers dan masyarakat umum hendaknya tetap berkesempatan menyuarakan “pesan moral” dan “budaya malu” terhadap tindakan pejabat negara yang tercela.
Penulis, pengajar ilmu pemerintahan,
anggota PIEN-CRC Center
Universitas Warmadewa

0 komentar:

Posting Komentar