BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Hukum
adat karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat
satu dengan lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan
diketahui apakah hukum adat masih hidup, apakah sudah berubah, dan ke arah mana
perubahan itu. Ada banyak istilah yang
dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum adat, hukum asli,
hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“. Bagaimana tempat dan
bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma
hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim,
pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya tergantung kepada dan berada
dalam masyarakat.
Hukum
adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William Marsden
(1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai
Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara
sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama kali menggunakan
istilah adatrecht (hukum adat), dan ia sebagai peletak teori Recepti,
ia memandang hukum adat identik dengan hukum kebiasaan. Istilah Hukum Adat atau
adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck
Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang
mempunyai konsekwensi hukum. Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai acuan
berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu:
(1). memperlihatkan keadaan (gestelheid),
(2) kelanjutan (veloop),
dan (3) menemukan keajekannya (regelmaat),
berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19
lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut
Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat hukum
atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts),
lingkaran hukum adat (adatrechtskringen). Selanjutnya Teer Haar; ia
dengan mendasarkan analisisnya pada Teori Keputusan yang dikemukakan oleh John
Chipman Grey menyatakan, semua hukum dibuat oleh hakim (Judge made law), ia
mengemukakan Teori Keputusan (beslissingenleer-theorie).
B. TUJUAN
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memahami
dan mendeskripsikan hukum adat secara umum dan hukum adat yang berlaku di
daerah-daerah masing-masing khususnya hukum adat yang hidup dan berkembang di
daerah maluku sebagai suatu nilai khasanah budaya leluhur yang dipakai sebagai
pedoman hidup.
C. METODE
PENULISAN
Metode
yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode kepustakaan yakni
pengumpulan data melaui literatur-literatur kepustakaan maupun browsing
internet yang dilengkapi dengan pikiran dan pandangan penulis terhadap kajian
yang ada.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. TRADISI
SASI DI PULAU HARUKU
Sebagaimana
desa-desa lain di Maluku, maka demikian juga halnya di negeri (desa) Haruku,
hukum adat sasi sudah ada sejak dahulu kala. Belum ditemukan data dan informasi
autentik tentang sejak kapan sasi diberlakukan di desa ini. Tetapi, dari
legenda atau cerita rakyat setempat, diperkirakan sejak tahun 1600-an, sasi
sudah mulai dibudayakan di negeri Haruku.
1. Pengertian
Sasi
Sasi dapat
diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu
sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati
(hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam
pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan
alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka
sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama
hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau
pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk
setempat.
2. Dasar Hukum
Dan Kelembagaan Sasi
Sasi
memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan
Dewan Adat (Saniri; di Haruku disebut Saniri'a Lo'osi Aman Haru-ukui, atau
"Saniri Lengkap Negeri Haruku"). Keputusan kerapatan adat inilah yang
dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang, yakni suatu
lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan peraturan sasi tersebut.
Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa ini. Struktur kepengurusannya adalah sebagai berikut:
1. Seorang Kepala Kewang Darat;
2. Seorang Kepala Kewang Laut;
3. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
4. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
5. Seorang Sekretaris
6. Seorang Bendahara
7. Beberapa orang Anggota.
Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan atau garis keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban:
·
mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi
yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar;
·
melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman
kepada warga yang melanggarnya;
·
menentukan dan memeriksa batas-batas tanah,
hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi;
·
memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi;
serta
·
menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat
yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.
Jenis-jenis sasi Di negeri Haruku, dikenal empat jenis sasi,
yaitu:
·
Sasi Laut
·
Sasi Kali
·
Sasi Hutan
·
Sasi dalam Negeri.
B. SASI
IKAN LOMPA NEGERI HARUKU
Di antara
semua jenis dan bentuk sasi di Haruku, yang paling menarik dan paling unik atau
khas desa ini adalah sasi ikan lompa (Trisina baelama; sejenis ikan
sardin kecil).
Jenis sasi ini dikatakan khas Haruku, karena memang tidak terdapat di tempat lain di seluruh Maluku. Lebih unik lagi karena sasi ini sekaligus merupakan perpaduan antara sasi laut dengan sasi kali. Hal ini disebabkan karena keunikan ikan lompa itu sendiri yang, mirip perangai ikan salmon yang dikenal luas di Eropa dan Amerika, dapat hidup baik di air laut maupun di air kali. Setiap hari, dari pukul 04.00 dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap tinggal di dalam kali Learisa Kayeli sejauh kuranglebih 1500 meter dari muara. Pada malam hari barulah ikan-ikan ini ke luar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali lagi ke dalam kali pada subuh hari. Yang menakjubkan adalah bahwa kali Learisa Kayeli yang menjadi tempat hidup dan istirahat mereka sepanjang siang hari, menurut penelitian Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, Ambon, ternyata sangat miskin unsur-unsur plankton sebagai makanan utama ikan-ikan. Walhasil, tetap menjadi pertanyaan sampai sekarang: dimana sebenarnya ikan lompa ini bertelur untuk melahirkan generasi baru mereka?
1. Legenda
ikan lompa
Menurut tuturan cerita
rakyat Haruku, konon, dahulu kala di kali Learisa Kayeli terdapat seekor buaya
betina. Karena hanya seekor buaya yang mendiami kali tersebut, buaya itu
dijuluki oleh penduduk sebagai "Raja Learisa Kayeli".
Buaya ini sangat akrab dengan warga negeri Haruku. Dahulu, belum ada jembatan di kali Learisa Kayeli, sehingga bila air pasang, penduduk Haruku harus berenang menyeberangi kali itu jika hendak ke hutan. Buaya tadi sering membantu mereka dengan cara menyediakan punggungnya ditumpangi oleh penduduk Haruku menyeberang kali. Sebagai imbalan, biasanya para warga negeri menyediakan cincin yang terbuat dari ijuk dan dipasang pada jari-jari buaya itu.
Buaya ini sangat akrab dengan warga negeri Haruku. Dahulu, belum ada jembatan di kali Learisa Kayeli, sehingga bila air pasang, penduduk Haruku harus berenang menyeberangi kali itu jika hendak ke hutan. Buaya tadi sering membantu mereka dengan cara menyediakan punggungnya ditumpangi oleh penduduk Haruku menyeberang kali. Sebagai imbalan, biasanya para warga negeri menyediakan cincin yang terbuat dari ijuk dan dipasang pada jari-jari buaya itu.
Pada zaman datuk-datuk dahulu, mereka percaya pada kekuatan serba-gaib yang sering membantu mereka. Mereka juga percaya bahwa binatang dapat berbicara dengan manusia. Pada suatu saat, terjadilah perkelahian antara buaya-buaya di pulau Seram dengan seekor ular besar di Tanjung Sial. Dalam perkelahian tersebut, buaya-buaya Seram itu selalu terkalahkan dan dibunuh oleh ular besar tadi. Dalam keadaan terdesak, buaya-buaya itu datang menjemput Buaya Learisa yang sedang dalam keadaan hamil tua. Tetapi, demi membela rekan-rekannya di pulau Seram, berangkat jugalah sang "Raja Learisa Kayeli" ke Tanjung Sial. Perkelahian sengit pun tak terhindarkan.
Ular besar itu akhirnya berhasil dibunuh, namun Buaya Learisa juga terluka parah. Sebagai hadiah, buaya-buaya Seram memberikan ikan-ikan lompa, make dan parang parang kepada Buaya Learisa untuk makanan bayinya jika lahir kelak.
Maka pulanglah Buaya Learisa Kayeli ke Haruku dengan menyusur pantai Liang dan Wai. Setibanya di pantai Wai, Buaya Learisa tak dapat lagi melanjutkan perjalanan karena lukanya semakin parah. Dia terdampar disana dan penduduk setempat memukulnya beramai-ramai, namun tetap saja buaya itu tidak mati. Sang buaya lalu berkata kepada para pemukulnya: "Ambil saja sapu lidi dan tusukkan pada pusar saya". Penduduk Wai mengikuti saran itu dan menusuk pusar sang buaya dengan sapu lidi. Dan, mati lah sang "Raja Learisa Kayeli" itu.
Tetapi, sebelum menghembuskan nafas akhir, sang buaya masih sempat melahirkan anaknya. Anaknya inilah yang kemudian pulang ke Haruku dengan menyusur pantai Tulehu dan malahan kesasar sampai ke pantai Passo, dengan membawa semua hadiah ikan-ikan dari buaya-buaya Seram tadi. Karena lama mencari jalan pulang ke Haruku, maka ikan parangparang tertinggal di Passo, sementara ikan lompa dan make kembali bersamanya ke Haruku. Demikianlah, sehingga ikan lompa dan make (Sardinilla sp) merupakan hasil laut tahunan di Haruku, sementara ikan parang parang merupakan hasil ikan terbesar di Passo.
2. Pelaksanaan dan peraturan sasi lompa
Bibit atau benih (nener ikan
lompa biasanya mulai terlihat secara berkelompok dipesisir pantai Haruku antara
bulan April sampai Mei. Pada saat inilah, sasi lompa dinyatakan mulai berlaku
(tutup sasi). Biasanya, pada usia kira-kira sebulan sampai dua bulan setelah
terlihat pertama kali, gerombolan anak-anak ikan itu mulai mencari muara untuk
masuk ke dalam kali.
Hal-hal yang dilakukan Kewang sebagai pelaksana sasi ialah memancangkan tanda sasi dalam bentuk tonggak kayu yang ujungnya dililit dengan daun kelapa muda (janur). Tanda ini berarti bahwa semua peraturan sasi ikan lompa sudah mulai diberlakukan sejak saat itu, antara lain:
·
Ikan-ikan lompa, pada saat berada dalam
kawasan lokasi sasi, tidak boleh ditangkap atau diganggu dengan alat dan cara
apapun juga.
·
Motor laut tidak boleh masuk ke dalam kali
Learisa Kayeli dengan mempergunakan atau menghidupkan mesinnya.
·
Barang-barang dapur tidak boleh lagi dicuci
di kali.
·
Sampah
tidak boleh dibuang ke dalam kali, tetapi pada jarak sekitar 4 meter dari
tepian kali pada tempat-tempatyang telah ditentukan oleh Kewang.
·
Bila membutuhkan umpan untuk memancing, ikan
lompa hanya boleh ditangkap dengan kail, tetapi tetap tidak boleh dilakukan di
dalam kali.
Bagi anggota masyarakat yang melanggar peraturan ini akan dikenakan sanksi atau hukuman sesuai ketetapan dalam peraturan sasi, yakni berupa denda. Adapun untuk anak-anak yang melakukan pelanggaran, akan dikenakan hukuman dipukul dengan rotan sebanyak 5 kali yang menandakan bahwa anak itu harus memikul beban amanat dari lima soa (marga besar) yang ada di Haruku.
3. Upacara
sasi Lompa
Pada
saat mulai memberlakukan masa sasi (tutup sasi), dilaksanakan upacara yang
disebut panas sasi. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam setahun, dimulai
sejak benih ikan lompa sudah mulai terlihat. Upacara panas sasi biasanya
dilaksanakan pada malam hari, sekitar jam 20.00. Acara dimulai pada saat semua
anggota Kewang telah berkumpul di rumah Kepala Kewang dengan membawa daun
kelapa kering (lobe) untuk membuat api unggun. Setelah melakukan doa bersama,
api induk dibakar dan rombongan Kewang menuju lokasi pusat sasi (Batu Kewang)
membawa api induk tadi. Di pusat lokasi sasi, Kepala Kewang membakar api
unggun, diiringi pemukulan tetabuhan (tifa) bertalu-talu secara khas yang
menandakan adanya lima soa (marga) di desa Haruku. Pada saat irama tifa
menghilang, disambut dengan teriakan Sirewei (ucapan tekad, janji, sumpah)
semua anggota Kewang secara gemuruh dan serempak. Kepala Kewang kemudian
menyampaikan Kapata (wejangan) untuk menghormati desa dan para datuk serta
menyatakan bahwa mulai saat itu, di laut maupun di darat, sasi mulai
diberlakukan (ditutup) seperti biasanya. Sekretaris Kewang bertugas membacakan
semua peraturan sasi lompa dan sanksinya agar tetap hidup dalam ingatan semua
warga desa. Upacara ini dilakukan pada setiap simpang jalan dimana tabaos
(titah, maklumat) biasanya diumumkan kepada seluruh warga dan baru selesai pada
pukul 22.00 malam di depan baileo (Balai Desa) dimana sisa lobe yang tidak
terbakar harus di buang ke dalam laut.
4. Pemasangan
tanda sasi lompa
Setelah selesai upacara
panas sasi, dilanjutkan dengan pemancangan tanda sasi. Tanda sasi ini biasanya
disebut kayu buah sasi, terdiri dari kayu buah sasi mai (induk) dan kayu buah
sasi pembantu. Kayu ini terbuat dari tonggak yang ujungnya dililit dengan daun
tunas kelapa (janur) dan dipancangkan pada tempat-tempat tertentu untuk
menentukan luasnya daerah sasi.
Menurut ketentuannya, yang berhak mengambil kayu buah sasi mai dari hutan adalah Kepala Kewang Darat untuk kemudian dipancangkan di darat. Adapun Kepala Kewang Laut mengambil kayu buah sasi laut atau disebut juga kayu buah sasi anak (belo), yakni kayu tongke (sejenis bakau) dari dekat pantai, kemudian dililit dengan daun keker (sejenis tumbuhan pantai juga) untuk dipancangkan di laut sebagai tanda sasi. Luas daerah sasi ikan lompa di laut adalah 600 x 200 meter, sedang di darat (kali) adalah 1.500 x 40 meter mulai dari ujung muara ke arah hulu sungai (lihat Peta Daerah Sasi Ikan Lompa Haruku).
Menurut ketentuannya, yang berhak mengambil kayu buah sasi mai dari hutan adalah Kepala Kewang Darat untuk kemudian dipancangkan di darat. Adapun Kepala Kewang Laut mengambil kayu buah sasi laut atau disebut juga kayu buah sasi anak (belo), yakni kayu tongke (sejenis bakau) dari dekat pantai, kemudian dililit dengan daun keker (sejenis tumbuhan pantai juga) untuk dipancangkan di laut sebagai tanda sasi. Luas daerah sasi ikan lompa di laut adalah 600 x 200 meter, sedang di darat (kali) adalah 1.500 x 40 meter mulai dari ujung muara ke arah hulu sungai (lihat Peta Daerah Sasi Ikan Lompa Haruku).
5. Buka
sasi lompa
Setelah ikan lompa yang
dilindungi cukup besar dan siap untuk dipanen (sekitar 5-7 bulan setelah
terlihat pertama kali), Kewang dalam rapat rutin seminggu sekali pada hari
Jumat malam menentukan waktu untuk buka sasi (pernyataan berakhirnya masa
sasi). Keputusan tentang "hari-H" ini dilaporkan kepada Raja Kepala
Desa untuk segera diumumkan kepada seluruh warga.
Upacara
(panas sasi) yang kedua pun dilaksanakan, sama seperti panas sasi pertama pada
saat tutup sasi dimulai. Setelah upacara, pada jam 03.00 dinihari, Kewang
melanjutkan tugasnya dengan makan bersama dan kemudian membakar api unggun di
muara kali Learisa Kayeli dengan tujuan untuk memancing ikan ikan lompa lebih
dini masuk ke dalam kali sesuai dengan perhitungan pasang air laut. Biasanya,
tidak lama kemudian, gerombolan ikan lompa pun segera berbondong-bondong masuk
ke dalam kali. Pada saat itu, masyarakat sudah siap memasang bentangan di muara
agar pada saat air surut ikan-ikan itu tidak dapat lagi keluar ke laut.
Tepat pada saat air mulai
surut, pemukulan tifa pertama dilakukan sebagai tanda bagi para warga,
tua-muda, kecil-besar, semuanya bersiap-siap menuju ke kali. Tifa kedua
dibunyikan sebagai tanda semua warga segera menuju ke kali. Tifa ketiga
kemudian menyusul ditabuh sebagai tanda bahwa Raja, para Saniri Negeri, juga
Pendeta, sudah menuju ke kali dan masyarakat harus mengambil tempatnya
masing-masing di tepi kali. Rombongan Kepala Desa tiba di kali dan segera
melakukan penebaran jala pertama, disusul oleh Pendeta dan barulah kemudian
semua warga masyarakat bebas menangkap ikan-ikan lompa yang ada.
Biasanya, sasi dibuka selama satu sampai dua
hari, kemudian segera ditutup kembali dengan upacara panas sasi lagi. Catatan
penelitian Fakultas Perikanan Universitas Pattimura pada saat pembukaan sasi
tahun 1984 menunjukkan bahwa jumlah total ikan lompa yang dipanen pada tahun
tersebut kurang-lebih 35 ton berat basah: suatu jumlah yang tidak kecil untuk
sekali panen dengan cara yang mudah dan murah. Jumlah sebanyak itu jelas
merupakan sumber gizi yang melimpah, sekaligus tambahan pendapatan yang
lumayan, bagi seluruh warga negeri Haruku.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sasi merupakan salah satu
hukum adat yang terdapat di kawasan timur indonesia tepatnya pulau maluku desa
haruku. Merupakan hukum adat yang harus tetap dijaga kelestariaanya, karena
manfaat dari sasi sangat besar apalagi dalam hal pelestarian lingkungan hidup.
Sasi merupakan hukum adat
yang sudah ada sejak dulu kala dan belangsung terus menerus turun temurun
sampai sekarang. Tugas kita sebagai putra dan putri daerah yaitu untuk tetap
menjaga dan melestarikan hukum adat sasi ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. WWW.kEWANG_HARUKU.ORG